Kantor Kementerian Luar Negeri Taiwan di jantung Kota Taipei tampak lengang. Kendaraan tamu bisa berhenti tepat di lobi gedung yang hanya dijaga oleh satu petugas keamanan dan pemeriksaan yang berarti.
Tak jauh dari pintu masuk, di selasar menujut lift terpasang bendera Taiwan bersama 18 bendara negara lain.
Kendra Chen, Direktur Informasi dan Pemberitaan Taipei Economic & Trade Representative Office di Indonesia (TETO), yang mendampingi rombongan sejumlah jurnalis berkunjung ke Taipei, mengatakan bahwa bendera itu mewakili 18 negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan saat ini.
Untuk ukuran sebuah negara yang didirikan pada 1912 dengan nama Republic of China, Taiwan tak bisa banyak menjalin hubungan diplomatik di tengah ancaman saudara tuanya di China Daratan. Pemerintah Republik Rakyat China di bawah Presiden Xi Jinping, kukuh dengan Kebijakan Satu China.
Hal itu berarti China Daratan ingin menjadikan Taiwan sebagai salah satu provinsinya. Sementara itu, rakyat Taiwan yang selama ini hidup dalam alam demokratis, menginginkan pemerintahnya lepas dari China, berdiri sebagai sebuah bangsa sendiri.
Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu mengaku tak ambil pusing dengan hanya sedikit negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan negaranya.
Menurutnya, 18 negara tersebut sudah cukup karena Taiwan juga bisa menjalin hubungan antarnegara dengan berbagai cara melalui perdagangan, investasi, atau mempekerjakan warga negara lain.
Joseph Wu berharap hubungan Taiwan Indonesia akan makin membaik pada masa mendatang seiring dengan hubungan antarwarga maupun investasi perdagangan yang makin kuat. Dia melihat kehadiran 260.000 buruh migran dari Indonesia turut menghangatkan hubungan kedua negara tersebut.
Selain itu, Taiwan juga makin memberikan perhatian yang sangat besar terhadap Asia Tenggara melalui New Southbound Policy (NSP). “Indonesia memiliki potensi besar menjadi salah satu kekuatan besar ekonomi dunia. Kami siap bekerja sama mewujudkan hal itu.”
Dia juga mengatakan, dengan semakin banyaknya warga negara Indonesia yang menetap di Taiwan, sudah sepantasnya pemerintah memberikan pelayanan publik yang lebih bersahabat bagi umat Muslim.
Taiwan, tutur Joseph, juga tengah gencar mengembangkan wisata halal untuk menarik lebih banyak turis asal Indonesia.
STATUS QUO
Menlu Taiwan tersebut mencoba menjawab diplomatis ketika ditanya mengenai masa depan hubungannya dengan China. Menurutnya, warga negara Taiwan menginginkan untuk berdiri sendiri sehingga pemerintah mencoba untuk terus mencari solusi atas masalah yang dihadapi dengan China.
Pada kesempatan terpisah, Chui-Cheng Chiu, Wakil Menteri Dewan Urusan China Daratan, mengatakan telah mengajukan berbagai proposal. “Namun China menginginkan model Hong Kong, sedangkan kami tidak menginginkannya.”
Model Hong Kong merujuk pada solusi dalam menangani wilayah tersebut setelah diserahkan oleh Inggris pada 1997. China menjanjikan solusi satu negara dengan dua sistem untuk Hong Kong. Taiwan pun menolak.
Namun, secara diplomatik, pemerintah Taiwan di bawah Presiden Tsai berkomitmen untuk menyelesaikan konflik dengan China Daratan secara damai. Taiwan sepertinya lebih nyaman dengan status quo saat ini dengan berusaha menghindari konfrontasi yang mengancam warga negaranya.
Di atas kertas, dengan hanya 23,5 juta penduduk, kekuatan Taiwan lemah dalam menghadapi raksasa China. Namun, siapapun yang berkuasa di negara ini tidak bisa menafikkan realitas bahwa mayoritas warga negaranya ingin melepaskan diri dari pengaruh China.
Bagi warga Taiwan, China dan Taiwan adalah dua entitas kehidupan yang sama sekali berbeda. Sebagai contoh, Taiwan menganut sistem demokratis dengan lebih dari 200 partai politik dan China Daratan hanya mengenal satu Partai Komunis.
Status quo juga memudahkan Taiwan hingga saat ini. Karena bagaimanapun dengan hubungan buruk dengan China—seperti saling menolak paspor—saat ini ada puluhan ribu perusahaan Taiwan yang beroperasi di China Daratan.
Mayoritas penduduk Taiwan, merunut sejarah, adalah migran dari China Daratan sekitar 400 tahun silam.
Republic of China, semula didirikan oleh bapak bangsa Chiang Kai-Shek pada 2012 di China Daratan, yang kemudian kalah dalam perang sipil pada dekade 1940-an dan menyeberang ke Taiwan.