Bisnis.com,JAKARTA - Nyanyian Setya Novanto tentang Puan Maharani dan Pramono Anung sarat bernuansa politik menjelang pelaksanaan pemilihan umum tahun depan.
Direktur Ekskutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan jika menyimak pola dan momentum yang ada saat ini dimana ada agenda politik besar yaitu Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, maka bisa dikatakan kesaksian Novanto tidak steril dari kepentingan politik.
“Dengan demikian, cuitan Novanto memiliki dua dimensi sebagaimana cuitan Nazaruddin, yaitu dimensi hukum dan dimensi politik. Coba perhatikan, sebelum Novanto menyebut nama Puan dan Pramono, nama mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah disebut dalam sidang kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto,” ujarnya dalam diskusi publik terkait pernyataan Setya Novanto, Senin (2/4/2018).
Dia melanjutkan, Novanto bagai pisau bermata dua. Menarget secara hukum dan politik sekaligus. Artinya, tuturdia, jika target hukum gagal, minimal target politiknya tercapai.
Fenomena cuitan Setnov ini, paparnya, jika dikaji dihubungkan dengan momentum, tahun pertarungan politik, tidak menutup kemungkinan, penyebutan dua orang penting di PDI Perjuangan tersebut memiliki agenda politik untuk menggerus perolehan suara PDI Perjuangan pada Pemilu 2019.
Sebagaimana diketahui, PDI Perjuangan merupakan partai penguasa yang menurut hasil survei sejumlah lembaga, posisi partai berlambang banteng itu diprediksi akan menjadi pemenang pada pemilu 2019 yang akan datang.
Nampaknya, lanjutnya, sasaran cuitan Setnov tidak hanya diarahkan ke PDI Perjuangan, tetapi dengan menyerang Pramono Anung, cuitan Setnov juga diarahkan ke istana dengan target minimal mendelegitimasi wibawa istana.
“Apakah target politik di balik pernyataan Novanto akan berhasil? Tergantung seberapa besar publik percaya terhadap ocehan mantan Ketua DPR itu. Jika publik memahami cuitan Setnov sebagai nyanyian politik menjelang pemilu dan mengetahui rekam jejak dia yang selama ini dipersepsikan negatif karena sejumlah kasus, bisa saja banyak yang tidak percaya dengan celotehannya,” pungkasnya.
Seperti diketahui, dalam sidang korupsi KTP elektronik dengan agenda pemeriksaan terhadap Setya Novanto dua pekan lalu, mantan Ketua DPR itu menyatakan dia mendapat informasi dari Made Oka Masagung ada aliran dana US$500.000 masing-masing diberikan ke Puan Maharani dan Pramono Anung.
Oleh penuntut umum, Setya Novanto dituntut pidana penjara selama 16 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan. Dia juga dituntut pidana tambahan dendan sebesar US$7,4 juta dengan memperhitungkan pengembalian uang Rp5 miliar.
Jika dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap terdakwa tidak membayar, harta bendanya akan disita dan dilelang untuk negara. Jika tidak memiliki harta benda maka terdakwa menjalani pidana selama tiga tahun.
Tidak hanya itu, politis Partai Golkar itu juga dituntut pencabutan hak politiknya selama lima tahun terhitung setelah menyelesaikan masa pemidanaan. Pencabutan hak politik ini dikarenakan dia merupakan seorang wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat namun mencederai kepercayaan pemilih dengan melakukan tindakkan koruptif.