Kabar24.com, JAKARTA - Pengamat hukum, Bivitri Susanti, mengatakan menghormati vonis majelis hakim atas kasus penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Meski begitu, Bivitri menilai, ada persoalan mendasar atas vonis Ahok yang dihukum 2 tahun penjara.
Ahok divonis bersalah atas penistaan agama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu pada September lalu. Majelis hakim menjerat Ahok dengan Pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama. Majelis hakim juga memerintahkan Ahok ditahan.
“Secara mendasar, saya tidak setuju ada pasal penistaan agama dalam hukum kita. Menurut saya, dengan penggunaan pasal itu, sebetulnya sudah bermasalah,” ujar Bivitri kepada Tempo, Selasa (9/5/2017).
Menurut Bivitri, kasus tersebut sudah dipaksakan sejak awal karena menjadi bagian dari upaya agar Ahok tidak terpilih lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Meski begitu, masyarakat harus menghormati apapun putusan hakim. Apalagi, kata Bivitri, majelis hakim berhak memutuskan perkara tidak sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum.
Seusai sidang, Ahok langsung dibawa ke Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur. Menurut Bivitri, keputusan langsung menahan Ahok sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ahok ditahan sampai ada ketetapan hukum tetap.
Meurut Bivitri, satu-satunya jalan agar Ahok bisa bebas adalah dengan mengajukan banding dan Ahok sudah menyatakannya.
“Kalau keputusan banding bilang Ahok tidak bersalah, maka Ahok bebas. Namun, kalau banding sampai kasasi lagi dan terus hingga ada keputusan tetap, maka tetap ditahan hingga ada ketetapan hukum atau sampai masa tahanan habis,” ujar Bivitri.
Dengan vonis 2 tahun karena penistaan agama, Ahok tidak bisa lagi menjalankan tugas-tugasnya sebagai kepala daerah. Aturannya, kata Bivitri, Ahok akan digantikan oleh seorang pelaksana tugas yaitu wakilnya, Djarot Saiful Hidayat. Jika akhirnya Ahok diputus bebas setelah banding, maka Ahok bisa kembali menjadi gubernur.