"Ketiga, akar intoleransi berpangkal pada proses hukum baik penegakan hukum dan banyak peraturan perundangan kita yang masih belum mengimplementasikan semangat keberagaman," ungkap Yando.
Salah satu contoh yang disebutkan Yando misalnya para pemeluk kepercayaan di luar enam agama resmi yang diakui negara masih tidak mendapatkan ases ke pelayanan publik seperti para pemeluk agama yang diakui negara.
"Hari ini dari sisi kepercayaan banyak saudara-saudara kita di luar enam agama resmi menjadi terdiskriminasi tidak dapat pelayanan publik, tidak dapat melanjutkan sekolah akibat kebijakan kita terhadap persoalan agama. Jadi ada persoalan hukum yang kami lihat perlu disempurnakan," jelas Yando.
Selanjutnya, ada juga peraturan hukum yang perlu ditinjau seperti UU Penistaan Agama.
Aturan yang biasa digunakan dalam kasus penistaan agama yaitu Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan pasal 156a dalam KUHP. Aturan terakhir dipakai untuk menjerat Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama dalam kasus penistaan agama.
"(Agar pemerintah) berpikir ulang (mengenai) UU Penistaan Agama, ini bukan persoalan sederhana atau dari perspektif antropologi ini menjadi sangat begitu relatif dan sangat berbahaya ketika itu dipolitisasi," tambah Yando.
Yando juga menegaskan petisi itu tidak mewakili kelompok politik tertentu.
"Kami menggunakan basis antropologi, jadi kami bebas tidak terkait dengan kekuatan politik tertentu," ungkap Yando.