Kabar24.com, JAKARTA - Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan peristiwa ledakan bom di Samarinda merupakan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk mempercepat langkah dan menyusun kebijakan yang komprehensif dalam menangani kasus-kasus intoleransi.
"Kasus intoleransi merupakan 'soft terorism' dan berpeluang atau rentan beralih menjadi gerakan radikal," kata Hendardi melalui pesan singkat diterima di Jakarta, Selasa (15/11/2016).
Hendardi menilai para aktor aksi teror adalah orang-orang yang telah melampaui pandangan intoleran dan melakukan tindakan-tindakan intoleran. Untuk mencapai kepuasan, mereka melakukan aksi teror.
Menurut Hendardi, pelemparan bom di Gereja Oikoumene, Samarinda pada Minggu (13/11) membuktikan bahwa pembiaran atas tindakan intoleransi terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan telah menjadi media pemulihan bagi kelompok-kelompok teror.
"Mereka melakukan aksi teror, radikalisasi publik dan merekrut aktor-aktor baru dengan pandangan keagamaan yang sempit untuk memilih jalan kekerasan. Setara Institute mengutuk keras pemboman tempat ibadah dan turut berduka dan berbela sungkawa atas jatuhnya korban luka dan anak yang meninggal," tuturnya.
Ledakan bom terjadi di Gereja Oikumene di Jalan Cipto Mangunkusumo RT 03, Nomor 37, Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, pada Minggu (13/11) pagi sekitar pukul 10.15 WITA.
Kejadian itu menyebabkan lima orang terluka, empat diantaranya menderita luka bakar serius dan langsung dievakuasi ke Rumah Sakit Umum Daerah IA Moeis Samarinda Seberang.
Salah seorang balita korban ledakan bom meninggal dunia pada Senin sekitar pukul 04.00 WITA akibat menderita luka bakar cukup parah. Korban bernama Intan Olivia Marbun (2,5) meninggal dunia di RSUD AW Sjahranie Samarinda.