Bisnis.com, BEIJING - Pengamat Asia Tenggara National Institute of International Strategy CASS, Xu Liping mengatakan Pemerintahan baru Amerika Serikat (AS) dibawah kepemimpinan Donald Trump tidak akan terlalu memfokuskan kebijakannya di Asia Pasifik yang dikenal sebagai "pivot" --penyeimbangan kembali dengan meningkatkan kehadiran militer di kawasan.
"Hal tersebut mau tidak mau, termasuk juga akan meredakan ketegangan di Laut China Selatan," katanya, menjawab Antara di Beijing, Kamis (10/11/2016).
Namun, lanjut Xu Liping, bukan berarti Tiongkok akan tampil penuh di Laut China tanpa "saingan". "Tiongkok akan tetap mengedepankan kebangkitan damai. Tiongkok akan tetap mengedepankan stabilitas keamanan dan perdamaian untuk kepentingan nasional Tiongkok," ujarnya.
Tiongkok dan AS di era Pemerintahan Trump akan lebih banyak "bersaing" di sektor ekonomi seperti nilai tukar mata uang, defisit perdagangan dan lainnya, daripada unjuk kekuatan di Laut China Selatan.
Xu Liping menuturkan secara umum kemenangan Trump berpengaruh pasif terhadap kebijakan Pivot Asia AS. "Diplomasinya lebih bersifat pragmatis. Tidak terlalu idealis. Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan akan tampil lebih berperan di Asia Tenggara. Kerangka kerja sama ASEAN+3 akan semakin efektif," tuturnya.
Pada penghujung 2011 Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton yang juga saingan Trump pada Pemilu AS pada Selasa (8/11)--memperkenalkan kebijakan Pivot Asia atau "rebalancing Asia".
Pivot Asia bertumpu pada perubahan fokus kebijakan luar negeri Amerika Serikat dari kawasan trans-atlantik dan timur tengah ke kawasan Asia-Pasifik. Perubahan orientasi didorong meningkatnya dinamika hubungan antara negara-negara di Asia-Pasifik akibat peningkatan kemampuan ekonomi dan militer.
Dan kebijakan Pivot Asia diambil untuk mempertahankan kepemimpinan, mengamankan kepentingan, dan mengembangkan nilai-nilai Amerika di kawasan Samudera Pasifik.
Salah satu cara untuk mencapai Pivot Asia adalah penguatan kerja sama aliansi bilateral dan peningkatan kehadiran militer di kawasan. Penguatan kerja sama didasarkan pada kebutuhan bersama antara negara aliansi untuk mencapai keamanan bersama.
Tiongkok dianggap sebagai sumber ancaman karena berbagai hal, mulai dari masalah persengketaan wilayah, "budget" atau anggaran militer yang tidak transparan, hingga modernisasi militer yang mulai menunjukkan superioritas terhadap militer negara lain.
Meningkatkan kehadiran militer menjadi penting karena akan memastikan Tiongkok tidak akan melakukan tindakan asertif yang dapat memicu konflik terbuka.
Kebijakan Donald Trump Tak Akan Fokus ke Asia Pasifik
Pengamat Asia Tenggara National Institute of International Strategy CASS, Xu Liping mengatakan Pemerintahan baru Amerika Serikat (AS) dibawah kepemimpinan Donald Trump tidak akan terlalu memfokuskan kebijakannya di Asia Pasifik yang dikenal sebagai pivot --penyeimbangan kembali dengan meningkatkan kehadiran militer di kawasan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
40 menit yang lalu
Saham Bank Pilihan JP Morgan saat Likuiditas Ketat & Kredit Melambat
40 menit yang lalu
Saham Bank Pilihan JP Morgan saat Likuiditas Ketat & Kredit Melambat
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
5 menit yang lalu
Kasus Korupsi CSR: Pertaruhan Reputasi BI Ketika Kurs Kian Rontok
12 menit yang lalu
Prabowo Temui PM Pakistan Bahas Kerja Sama Ekonomi dan Perdagangan
33 menit yang lalu