Kabar24.com, SURABAYA - Jika berkunjung ke Surabaya, tidak ada salahnya menyempatkan mampir ke Museum Mpu Tantular. Di sana ada beragam koleksi keris dari berbagai belahan Tanah Air yang dipamerkan untuk menambah cakrawala pengetahuan mengenai sejarah bangsa ini.
Lebih dari 600 keris kuno yang dipamerkan di museum itu merefleksikan betapa kayanya pusaka yang dahulu banyak digunakan sebagai senjata perang pada zaman kerajaan di Jawa. Seluruh keris kuno itu dikurasi langsung oleh berbagai empu dan pakar keris kenamaan.
Salah satunya adalah Kanjeng Raden Aryo Tumenggung (KRAT) Sukoyo Hadi Negoro. Pria kelahiran 1952 itu hingga kini masih menjalani pengabdiannya sebagai empu keris Jawa asli, yang juga salah satu dari sedikit pande senior di Jawa yang tersisa saat ini.
Pria yang akrab disapa Sukoyo itu mengaku masih setia pada pekerjaan yang merupakan warisan dari trah atau garis keturunannya tersebut. Sebagaimana sebagian besar empu yang tersisa saat ini, mereka adalah keturunan pande atau mewarisi darah empu dari leluhurnya.
Hanya saja, semakin sedikit dari antara empu-empu yang tersisa itu yang mampu mewariskan kemampuan leluhurnya kepada anak cucu mereka. Sekadar catatan, banyak keris modern saat ini bukan dibuat oleh empu tetapi semata oleh perajin besi.
Tentunya, terdapat perbedaan maknawi dari sebilah keris yang ditempa oleh seorang empu dengan yang dihasilkan oleh perajin biasa. Bagaimana tidak, untuk menjadi seorang empu saja dibutuhkan prekondisi yang luar biasa rumit. Tidak sembarang orang bisa menjadi empu.
"Namun, zaman sekarang, tidak semua empu mewarisi kemampuan langsung dari leluhurnya. Banyak yang terputus-putus, seperti saya ini. Berbeda dengan zaman dulu, di mana menjadi empu itu adalah sesuatu yang diwariskan turun-temurun tanpa terputus," kata Sukoyo.
Dia menjelaskan kendala meneruskan karunia sebagai empu kepada anak cucu adalah semakin berkembangnya pola pikir modern pada generasi muda, yang lebih berorientasi pada kalkulasi ekonomis dan kaedah ilmiah.
Pengabdian sebagai empu keris dipandang sebagai sebuah profesi yang tidak menggemukkan kantong. Padahal, generasi sekarang lebih berpikir rasional bahwa beban biaya hidup yang sudah berat semakin tak terelakkan.
Di sisi lain, untuk menjadi empu biasanya seseorang harus dibekali dengan ilmu-ilmu lain, yang seringkali bersifat metafisik atau tidak ilmiah. Itu juga menjadi alasan mengapa generasi muda keberatan mempelajari ilmu mengampu keris.
"Mereka jadi berkurang keyakinan di lingkungan masyarakat yang sudah modern ini, yang merasa bahwa [mengampu] keris sudah ketinggalan zaman. Akibatnya, menjadi empu keris dianggap bukan sebuah pilihan hidup yang membanggakan," tutur Sukoyo.
Akibat semakin minimnya minat generasi muda pada dunia pengampuan keris, upaya yang bisa dilakukan untuk melestarikan keris Jawa di kalangan generasi muda pun hanya sebatas mengoleksi, menyimpan di museum, pameran, atau seminar di perguruan tinggi.
Untuk dijadikan koleksi yang menarik, lanjutnya, pembuatan keris saat ini lebih ditekankan pada keindahan penampilan visual ketimbang fungsi. Misalnya saja dengan mencampurkan material emas atau taburan berlian agar kerisnya memiliki nilai investasi tinggi.
Sukoyo, yang pernah menjadi langganan para menteri dan tamu-tamu kenegaraan pada era Presiden Soeharto, mengaku masih sering kebanjiran order di kalangan generasi muda, khususnya pada musim-musim pencalonan pemimpin seperti Pikada atau Pilgub.
"Tidak semua pembeli keris zaman sekarang adalah kolektor. Banyak yang menggunakan untuk kepentingan pribadi, seperti agar bisnisnya lancar, untuk kesehatan, dan lainnya. Mungkin mereka tidak percaya dirikali ya," candanya.
Harga rata-rata keris yang dibanderol di atas Rp50 juta juga bukan penghalang bagi orang-orang untuk mencari keris Jawa asli buatan empu. Sebab, mereka percaya dedikasi seorang empu memberi kemampuan magis bagi keris yang dibuatnya.
Sukoyo menjelaskan salah satu ciri keris yang dibuat pada zaman modern biasanya lebih berat karena menggunakan logam yang lebih bersih dari pabrik, sehingga titik didihnya berbeda. Keris kuno, di sisi lain, biasanya sudah berbentuk karbon besi yang ringan karena pembakarannya lebih sempurna.
Kadang-kadang keris lama itu baru terlihat kandungan logamnya kalau dix-ray. Kalau secara kasat mata tidak akan terlihat. Itu sebenarnya bukan karena sakti, tapi karena memang kandungan logamnya sudah tidak ada, jadi sering dikira keris sakti.
Panggilan Hati
Sebenarnya, bukan tidak ada generasi muda yang mengikuti panggilan hatinya untuk menjadi seorang pengampu keris Jawa. Di Surakarta, misalnya, ada Basuki Teguh Yuwono yang mendedikasikan diriya sebagai empu keris saat usianya masih belum genap kepala empat.
Dia bahkan sukses menjadi pengampu di Padepokan dan Museum Keris Brodjobuwono Surakarta. Dia mengatakan pilihannya menjadi seorang empu muda terpupuk sejak menimba ilmu di Institut Senin Indonesia (ISI) pada 1995.
Dari sana saya mulai mengenal bengkel kesenian, yang memproduksi gamelan dankeris.Nah, lantas saya mulai mengenal teknologi pembuatankeris, karena saya banyak mempelajari ilmu falsafah dan filsafat Jawa dari keluarga, ungkapnya.
Pada 1997, Basuki mendapat besasiswa ke luar negeri. Dari sana, dia memulai banyak riset. Pada awalnya, dia mulai meneliti pasir besi yang digunakan utuk mengolahpamordalamkeris. Saat itu, dia mengawali risetnya di Jawa dan Bali.
Pada 1998, dia melanjutkan riset tentang kayu yang khusus digunakan untuk aksesoris perkerisan. Untuk itu, dia sampai harus menjelajah ke seluruh pelosok Tanah Air. Baru pada 1999, dia mulai mendirikan padepokankerisdi rumahnya sendiri.
"Dari situ, kami mencoba terjun dan memperkenalkan diri di dunia perkerisan. Ternyata, respons masyarakat baik di dalam maupun luar negeri sangat positif. Akhirnya, pada 2012 saya mengembangkan padepokan saya menjadi sebuah museum," ceritanya.
Basuki mengakui ada banyak kesulitan proses regenerasi empu keris di Jawa, dibandingkan di daerah lain di Indonesia.
Pertama, akibat terjadinya pendangkalan dan pembiasan pemahaman masyarakat modern terhadap dunia perkerisan, sehingga budaya kerisseolah-olah tidak menarik lagi bagi generasi yang lebih muda.
Kedua, keris itu tergolong kebutuhan integratif, bukan kebutuhan pokok. Sedangkan, desain budaya modern dengan aksesoris busana masa kini tidak lagi harus menghadirkan sebuah keris.
Ketiga,pada awal mulanya, keris diciptakan sebagai budaya kelas atas karena berhubungan dengan tradisi keraton. Sementara itu, di dalam dunia kesenian secara tradisi, masyarakat memahami falsafah keris hanya sepotong-sepotong.
Mereka menganggap bahwa tradisi harus dibawa ke masa lalu, dan modern harus berkaitan dengan masa kini. Padahal, sebetulnya keris bisa sangat adaptif. Ini yang kurang dipahami oleh generasi muda.
Nah,bagi generasi muda yang berminat mengabdikan dirinya sebagai empu keris, Basuki menyebut ada dua manuskrip yang bisa dijadikan acuan; yaitu Dharma Kapandean yang dibuat pada era Kerajaan Kediri, Singasari, dan Majapahit, serta Rerajahan Keris yang menjelaskan persyaratan untuk menjadi empu atau penggandring.
Keahlian Dasar
Menurutnya, ada beberapa keahlian dasar yang harus dimiliki seorang empu.
Pertama,ilmu spiritual karenakerismerupakan kristalisasi makna nilai manusia dan Tuhan. Sehingga, seorang empu harus bisa menjadi panutan baik perilaku dan pemikiran, maupun etika hidup.
Kedua, ilmu psikologi karena karakter keris merupakan cerminan dari karakter individu pemiliknya. Sehingga, seorang empu harus mampu menerjemahkan karakter pemesan dengan keris yang dia buat.
Ketiga, ilmu anatomi karena keris dibuat berdasarkan anatomi masing-masing pemilik. Ukurannya harus disesuaikan menggunakan ruas telapak tangan. Sehingga, semua keris yang dibikin pas dengan ukuran 4 jari telapak tangan.
Keempat, ilmu seni karena keris itu mengandung nilai kaindran, yang tidak hanya menyangkut panca indera tapi rasa. Keris yang baik harus bisa dinikmati orang yang punya panca indera utuh maupun tidak. Orang buta pun bisa lihat keris itu bagus atau tidak.
Kelima, ilmu sastra karena tolok ukur intelektual seorang empu pada masanya dinilai dari penguasaannya terhadap ilmu tulis.
"Nah, karena keris melibatkan teknologi seni tempa logam yang tertinggi pada masanya, dibutuhkan pengetahuan teknologi yang rumit, sehingga tidak banyak generasi muda pada zaman modern yang mau mendalaminya secara utuh," kata Basuki.