Bisnis.com, BANJARMASIN --- Dewan Pers mengakui hingga kini masih ada, bahkan cenderung semakin sering terjadi kejahatan yang berkedok atau penyamaran dengan melakukan aktivitas sebagai seorang wartawan.
Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Stanley Yosep Adi Prasetyo dalam seminar di Banjarmasin, Selasa (3/11/2015) mengharapkan, setiap warga masyarakat hendaknya selalu waspada aksi itu dengan cara mempertanyakan identitas pelaku maupun institusi medianya, kalau meragukan laporkan kepada pihak berwajib.
Pernyataan tersebut disampaikan Stanley menjawab pertanyaan serta komentar sejumlah peserta Seminar "Potret Kemerdekaan Pers" yang dilaksanakan Dewan Pers dalam rangka sosialisasi rencana penyusunan Indeks Kemerdekaan Pers.
Banyaknya kasus-kasus yang berkedok wartawan serta aksi sejumlah oknum yang mengaku sebagai pekerja pers atau biasa disebut sebagai wartawan "abal-abal", menunjukkan masih begitu rentannya profesi itu oleh oknum memanfaatkan apa yang disebut dengan euforia kemerdekaan pers.
Seperti ada laporan tentang kejadian seorang pengepul botol yang ketika beraktivitas difoto oknum wartawan dan diperas ratusan juta dengan diancam akan diberitakan sebagai penjual minuman keras ilegal.
Menurut dia, penyusunan indeks kemerdekaan pers berdasarkan kepada hak atas informasi adalah sebuah elemen hak azasi yang harus dihormatri, dilindungi dan dipenuhi oleh negara sebagai penanggung jawab implementasi HAM.
Menurut Stanley, indikator yang akan dikembangkan jelas berbeda dengan model indeks kebebasan pers di negara lain seperti yang dilakukan "Committe to Protec Journalist" (CPJ), "Reporter San Frontiers" (RSF) maupun oleh "Freedom House" yang lebih merupakan gambaran situasi kebebasan pers antarnegara.
"Dalam indikator yang digunakan RSF, penyerangan dan pembunuhan wartawan diberi bobot yang besar hingga berkali-kali indeks kebebasan pers yang disusun selalu menempatkan Indonesia jauh di bawah Malaysia dan Singapura," paparnya Padahal, katanya, semua orang tahu kebebasan pers di Indonesia jauh lebih baik dibanding dua negara tetangga yang tidak memiliki kebebasan pers.
Atasa dasar itu, maka Indeks Kemerdekaan Pers perlu bagi Indonesia bahkan hal itu sudah masuk dalam Rencana Pembangaunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) saat ini.
Sementara itu, mantan Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara mengatakan, dari sejumlah prinsip-prinsip dalam kebebasan pers berstanmdar nasional yang dicatatnya pers Indonesia telah mencapai lima dari 11 prinsip itu.
Kelima pirnsip kebebasan pers yang telah dicapai Indonesia saat ini adalah bebas dari Izin penerbitan pers, bebas dari bredel, bebas dar sensor, bebas dari intervensi pemerintah serta pers bebas mengontrol pemerintah.
Menurut Leo, enam prinsip lain yang harus terus dikembangkan adalah kemerdekaan pers harus berstatus hak konstitusional warga negara, tidak mengkriminalkan pers dalam pekerjaan jurnalistik untuk kepentingan umum, dan pers bebas mendapatkan akses informasi publik.
Kemudian wartawan mendapat perlindungan dalam menjalankan profesi, mengoperasikan wartawan yang kompeten dan profesional serta kemerdekaan pers semestinya memberikan manfaat besar bagi warga dan bangsa, tuturnya.
"Saya melihat saat ini nampak ada tiga golongan pers yakni yang profesional, partisan dan pers 'kuda' atau tergantung siapa joki atau penunggannya," tegas Leo.
Selain Stanley dan Leo, seminar juga menampilkan dua narasumber Kalsel yakni Kepala Perwakilan Ombudsman Kalsel Noorhalis Madjid dan Dekan Fakultas Dakawah dan Komunikasi IAN Antasari Dr Akhmad Sagir yang berharap agar kebebasan pers bermanfaat, berdampak positif dan berpihak kepada warga masyarakat secara umum.
DEWAN PERS: Kejahatan Berkedok Wartawan Masih Terjadi
Dewan Pers mengakui hingga kini masih ada, bahkan cenderung semakin sering terjadi kejahatan yang berkedok atau penyamaran dengan melakukan aktivitas sebagai seorang wartawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium