Pada era 1683 kawasan yang sekarang disebut Tangerang berada di bawah pimpinan Sanghyang Anggalarang, wakil dari Sanghyang Banyak Citra dari Kerajaan Parahyangan.
Melihat sembilan orang perempuan Tionghoa berparas cantik di perahu yang baru mendarat di muara Sungai Cisadane, hatinya tertarik. Mereka "dibeli" dengan kompensasi sebidang tanah.
Tinggal para lelaki, mereka selanjutnya hidup dan menetap di kawasan Teluk Naga, lantas menikah dengan orang pribumi. Seiring waktu terbangunlah komunitas peranakan Tionghoa di sebuah desa yang selanjutnya dinamai Tanggeran.
“Kenapa disebut China Benten? Karena orang-orang di sini tinggalnya dekat benteng. Dulu disebutnya Benteng Makassar karena saat pembangunan banyak dikerjakan orang dari Makassar,” tutur Oey Tjin Eng, generasi kedelapan peranakan Tionghoa Tangerang.
Pada 1740 dipimpin Gubernur Jenderal Andriaan Valckenier terjadi pembantaian massal terhadap etnis Tionghoa yang ada di benteng (kini Tangerang) hingga lebih dari 10.000 orang tewas.
Warga Tionghoa itu sebelumnya berusaha mengemukakan ketidakpuasan mereka terhadap berbagai peraturan VOC (Veneenigde Oostindiche Compagnie). Peranakan Tionghoa yang berhasil menyelamatkan diri lantas mencari wilayah lain untuk bermukim, seperti di Teluk Naga.