Kabar24.com, JOGJA – Pemerintah Kota Yogyakarta di bawah kepemimpinan Walikota Haryadi Suyuti dan Wakil Walikota Imam Priyono yang telah berusia 1.000 hari masih terganjal pekerjaan rumah tata kelola perparkiran.
Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gajah Mada (UGM) mensinyalir tingginya tingkat penggunaan lahan pablik sebagai tempat parkir ilegal dan tingginya potensi kebocoran pendapatan dari retribusi parkir di wilayah Kota Yogyakarta.
Pada sisa 500 hari masa pemerintahan, pasangan Haryadi-Imam diharapkan dapat mengeluarkan gebrakan kebijakan untuk memperbaiki wajah perparkiran di kota destinasi wisata tersebut.
Arif Wismadi, Peneliti Pustral, mengatakan meskipun tidak berwenang menentukan tarif parkir, Haryadi memiliki kewenangan perogratif untuk menerbitkan Peraturan Walikota atau Perwali yang mengatur pengawasan pelaksanaan perparkiran.
“Jadi sebenarnya punya potensi, tapi potensi ini belum dipakai oleh pak Haryadi. Belum ada instrumen baru dari pak Haryadi untuk memastikan pemanfaatan public space benar-benar optimal dan adil melayani warga juga mengawasi pelaksanaan perparkiran,” katanya kepada JIBI di kantornya di Pustral UGM, pekan lalu.
Dia menyebutkan persoalan besar bidang perpakiran di Kota Yogyakarta adalah pemanfaatan ruang publik sebagai sarana sejumlah pihak tertentu untuk mendapatkan pendapatan ilegal.
Dia mencontohkan pemanfaatan area publik di kawasan “garis imajiner” Yogyakarta, khususnya di area wisata Malioboro. Dia mengemukakan area pedestrian yang menjadi hak pejalan kaki justru didominasi oleh kegiatan parkir kendaraan bermotor.
Namun demikian, tidak semua kegiatan parkir tersebut dijalankan secara legal yang berkontribusi terhadap pendapatan daerah. Banyak di antaranya dijalankan secara ilegal sebagai sarana perolehan pendapatan pihak-pihak tertentu. Kasus serupa tidak hanya terjadi di kawasan Malioboro melainkan di kawasan lainnya di Kota Yogyakarta.
Selain memakan hak pejalan kaki, parkir kendaraan di area pedestrian juga dapat dikatakan sebagai penghilangan potensi pendapatan daerah juga memperburuk wajah kota.
“Kalau kita mencermati satu per satu perwali yang ada, itu tidak efektif untuk menjamin pengaturan pengawasan pelaksanaan perparkiran. Perlu peran dan keberanian Walikota sekarang untuk melakukan reformasi di bidang pelaksanaan perparkiran,” katanya.
Menurut dia, perwali adalah instrumen paling tepat untuk mengatur pengawasan pelaksanaan perparkiran. Perwali, ujarnya, lebih cepat dari sisi waktu karena tidak memerlukan persetujuan dewan, serta minim intervensi pihak luar.
“Tapi perlu keberanian pak Walikota karena kebijakan itu bisa “menggoyang” kondisi yang sudah terlanjut terjadi dan kepentingan-kepentingan yang terkait di dalamnya,” katanya.
Di sisi lain, Arif menambahkan sebetulnya pemerintah kota memiliki peranan besar dalam mengatur mobilitas dan transportasi publik yang terjadi di perkotaan. Hanya saja, peranan besar tersebut tidak diiringi dengan kewenangan yang juga besar.
“Kalau kita bicara angkutan umum misalnya, sebenarnya Kota Yogyakara tidak mempunyai peran besar karena ranahnya ada di Provinsi DIY. Jadi sulit menilai peran Pemkot di situ,” katanya.
Hal serupa juga terjadi dalam hal pengaturan arah lalu lintas yang bergeser dari pola dua arah menjadi satu arah.
“Itu tidak bisa Kota bekerja sendiri, merupakan kerja bareng dengan daerah lain seperti Kabupaten Sleman, aparat, dan ada fasilitasi dari Provinsi,” katanya.
Pemkot Yogyakarta Belum Mampu Atasi Perparkiran
Pemerintah Kota Yogyakarta di bawah kepemimpinan Walikota Haryadi Suyuti dan Wakil Walikota Imam Priyono yang telah berusia 1.000 hari masih terganjal pekerjaan rumah tata kelola perparkiran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Anggi Oktarinda
Editor : Martin Sihombing
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
52 menit yang lalu