Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dewan Pers: Pemerintah Jangan Alergi Kritikan Media Massa

Dewan Pers minta pemerintah tak alergi kritik media, asal kritik proporsional dan berbasis data. Google dan media harus perangi hoaks demi stabilitas ekonomi.
Suasana dalam acara Bisnis Indonesia Forum bertema Integritas Media Massa di Tengah Maraknya Mis/Disinformasi di Gedung RRI, Jakarta, Kamis (21/8/2025). JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Suasana dalam acara Bisnis Indonesia Forum bertema Integritas Media Massa di Tengah Maraknya Mis/Disinformasi di Gedung RRI, Jakarta, Kamis (21/8/2025). JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dan DPR diminta tidak alergi lagi dengan kritikan dari masyarakat lewat media massa mengingat data yang disajikan bisa dipastikan sesuai dengan fakta bukan hoaks.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Pers Komarudin Hidayat di sela-sela acara Integritas Media Massa di Tengah Maraknya Mis/Disinformasi yang digelar oleh Bisnis Indonesia di Auditorium Jusuf Ronodiputo Gedung RRI Jakarta, Kamis (21/8/2025).

Kendati demikian, Komarudin mengingatkan bahwa media juga harus mengkritik secara proporsional dan profesional sesuai dengan data dan fakta, sehingga tidak dicap jadi media penyebar informasi palsu atau hoaks.

"Pemerintah jangan curiga dan alergi pada kritik masyarakat lewat pers, tapi pers juga hendaknya ketika kritik itu proporsional, yang berdasarkan data dan fakta, jangan provokatif. Jadi yang proporsional lah," tutur Komarudin.

Dia menegaskan jika media ikut menyebar informasi hoaks, maka Komarudin meyakini usia media mainstream tersebut tidak akan lama atau ditinggalkan pembaca setianya, lalu masyarakat akan beralih ke media sosial yang kini lebih banyak beredar info hoaks.

"Padahal media sosial ada yang bagus tapi banyak juga yang hoax-hoax dan kalau sampai media mainstream itu kemudian tinggalkan, pemerintah rugi juga," katanya.

Selain itu, Komarudin juga mengemukakan bahwa platform global Google seharusnya bisa ikut berkontribusi meminimalisir info hoaks yang beredar di dunia maya, jangan hanya meraup untung saja dari Indonesia.

"Nah, dalam hal ini Google juga harus ikut berkontribusi. Kan saat ini terasa sekali ya yang namanya belanja iklan di Indonesia itu sekarang lewat platform global, kalau saja lewat platform nasional maka peredaran uang itu kan bisa lebih terkendali, terkontrol, terdistribusi dengan adil," ujarnya.

Sementara itu, Gov Affairs & Public Policy Manager Google Indonesia, Isya Hanum Kresnadi menegaskan bahwa Google telah memiliki teknologi untuk menyaring semua informasi yang beredar di dunia maya agar relevan dan disesuaikan dengan warga Indonesia.

"Soalnya kita tahu ada begitu banyak informasi di luar sana, sehingga kita harus menyajikan informasi yang relevan agar bermanfaat untuk masyarakat," tuturnya

Dia menegaskan bahwa Google sampai kini masih terus memerangi misinformasi dan disinformasi yang beredar di dunia maya agar tidak ditelan mentah-mentah oleh masyarakat.

"Jadi kami tidak hanya sekedar platform seperti Google dan Youtube saja, tetapi kita juga menjadi mitra pemerintah untuk meningkatkan inovasi dan mencegah disinformasi dan misinformasi," katanya.

Sementara itu, Manajer Riset BBC Media Action, Rosiana Eko menyampaikan bahwa maraknya misinformasi dan disinformasi di Indonesia saat ini tidak hanya mengganggu stabilitas demokrasi, tetapi juga berdampak langsung pada sektor ekonomi dan bisnis.

Dia membeberkan sekitar dua pertiga dari responden yang disurvei mengkhawatirkan kenaikan biaya hidup dan inflasi, hal ini juga diperburuk oleh penyebaran informasi palsu seperti penipuan keuangan dan judi online.

Riset yang dikembangkan pada April 2024/Maret 2025 ini melibatkan survei nasional terhadap 5.036 responden berusia 15 tahun ke atas, analisis media sosial menggunakan Brandwatch, serta wawancara mendalam.

Hasilnya, survei menunjukkan sekitar 9% responden menganggap akses terhadap informasi kredibel sebagai salah satu kekhawatiran utama, di tengah rendahnya kepercayaan terhadap berita (hanya 39% pada 2023).

“Informasi disorder dapat mendorong keputusan buruk yang memengaruhi keamanan ekonomi, seperti maraknya skema ‘buy now, pay later’ yang disertai penipuan, serta peningkatan judi online,” ujar Rosiana dalam pemaparannya.

Kemudian, Sekretaris Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Komdigi, Mediodecci Lustarini mengakui penyebaran informasi palsu atau hoaks sudah masuk tahap mengerikan di Indonesia.

Dia membeberkan bahwa ada sebanyak 50% pengguna Internet yang kini terpapar informasi palsu atau hoaks. Sementara itu, hanya ada 20-30% pengguna Internet yang mampu membedakan informasi hoaks.

"Itu angka tahun 2021, fenomena lama ini tapi sampai sekarang ini belum ada perubahan soal fenomena hoaks di Indonesia," ujarnya.

Dia pun menjelaskan bahwa penyebaran informasi hoaks kini tidak hanya berupa gambar tetapi juga video seperti deepfake yang menggunakan teknologi AI. Dia juga mengatakan bahwa penyebaran informasi hoaks kini lebih cepat dibandingkan proses verifikasi yang dilakukan Komdigi maupun media massa.

"Ini menjadi massif karena jumlah konten manipulatif yang disebar semakin banyak dan penyebaran pun kini semakin cepat dibandingkan verifikasi kita atau media," tuturnya.

Maka dari itu, dia menegaskan pihaknya akan membuat roadmap AI yang dapat digunakan masyarakat agar tidak ada lagi yang terpapar informasi hoaks di Internet.

"Ini sedang kami garap peta jalannya agar ada etika dan aturan yang diikuti masyarakat ketika menggunakan teknologi ini," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro