Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Premanisme Gambarkan Kegagalan Negara

Langgengnya aksi premanisme menunjukkan bahwa negara gagal menegakkan hukum.
Logo kepolisian di depan gedung kantor Polda Metro Jaya/Bisnis-Anshary Madya Sukma
Logo kepolisian di depan gedung kantor Polda Metro Jaya/Bisnis-Anshary Madya Sukma

Bisnis.com, JAKARTA- Langgengnya aksi premanisme menunjukkan bahwa negara gagal menegakkan hukum.

Hal itu diungkapkan oleh Sosialog dari Universitas Gajah Mada (UGM) Najib Azca dalam program bincang Broadcash di kanal Youtube Bisniscom, dikutip Selasa (13/5/2025).

Seperti diketahui, saat ini praktik premanisme disorot luas karena dinilai kerap mengganggu kelancara investasi asing di Tanah Air.

Berkuasanya para preman, kata Najib Azca, menunjukkan negara gagal menegakkan aturan dan ketertiban, sehingga tidak memberikan rasa aman bagi rakyat.

“Jadi apa yang terjadi hari-hari ini di beberapa tempat, ada benterokan atarpreman, atau mengganggu bisnis adalah bukti yang kasat mata dari kegagalan negara untuk menjaga ketertiban, untuk menjaga memberikan rasa aman bagi publik. Premanisme itu adalah indikasi anomali dari praktek bernegara yang benar,” ujarnya.

Dia melanjutkan kelompok yang diasosiasikan sebagai preman, sebagian besar memiliki relasi dengan elemen-elemen negara. Ada proses timbal balik di mana kelompok preman diberikan konsesi tertentu untuk melakukan upaya paksa, dan elemen-elemen dalam negara, mendapatkan keuntungan seperti setoran materi tertentu.

“Premanisme itu kekuatan sipil yang melakukan fungsi-fungsi pengamanan yang sebenarnya merupakan monopoli dan domain dari negara, tapi itu dilakukan atas restu atau perlindungan dengan elemen-elemen tertentu dari negara. Nanti ada relasi dengan elemen tertentu dari negara itu. Gampangnya ada setoranlah. Ada proses simbiosa antara preman dengan negara yang tangan kotor dalam negara,” tambahnya.

Dia juga memaparkan bahwa premanisme merupakan sebuah konsekuensi dari praktik bernegara yang otortarian. Praktik premanisme, lanjutnya, sudah terjadi jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Di masa kolonialisme, ada jawara-jawara lokal yang sengaja dipelihara oleh pemerintah dengan maksud untuk menekan masyarakat sehingga melanggengkan kekuasaan penguasa kolonial.

Di masa perjuangan kemerdekaan, para jago ini kemudian bersalin peran menjadi pejuang kemerdekaan. Setelah tercapai kemerdekaan, para jawara yang sudah memiliki nama besar, mulai membangun relasi tertentu dengan aktor-aktor neara.

Dia menguraikan, pada masa berdirinya Orde Baru, kekuatan sipil yang menggunakan kekerasan ini berperan dalam berbagai krisis pada 1965. Kelompok-kelompok ini berperan aktif melakukan berbagai aksi kekerasan terhadap warga yang dituding terlibat dalam komunisme.

“Sehingga tidak harus negara sendiri yang memukul tapi kekuatan-kekuatan sipil ini yang melakukan kekerasan, sehingga negara bisa cuci tangan,” terangnya.

Lanjutnya, gelombang reformasi yang mengakhiri Orde Baru, rupanya tidak mengakhiri praktik premanisme yang bertalian dengan elemen-elemen negara. Praktik ini, tuturnya, terus hadir sehingga preman dan premanisme masih hadir di dalam panggung politik Indonesia pascaorde baru dan hal ini dia lihat sebagai sebuah kegagalan negara.

“Kalau preman dan premanisme masih hadir dalam kehidupan sosial kita berarti negara gagal mewujudkan sistem bernegara di mana kekerasan itu hanya merupakan monopoli negara,” tukasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper