Bisnis.com, JAKARTA -- Undang-undang atau UU No.1/2025 tentang BUMN diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu gugatan diajukan oleh Muhammad Jundi Fathi beserta dua orang lainnya, yaitu A. Fahrur Rozi dan Dzakwan Fadhil Putra Kusuma.
Ketiga penggugat itu mempersoalkan norma imunitas dan penegasan tentang keuntungan atau kerugian Danantara bukan bagian dari risiko keuangan negara, yang menurut mereka justru akan menyuburkan praktik korupsi di lingkungan BUMN.
"Kami menilai hal ini justru menyuburkan praktik korupsi di lingkungan BUMN," tutur Jundi di Jakarta, Selasa (6/5/2025).
Selain itu, implementasi norma-norma hukum tersebut juga bertentangan dengan prinsip-prinsip pendelegasian dalam sistem ketatanegaraan sehingga merugikan pemohon sebagai mahasiswa dan bertentangan dengan UUD 1945.
Menurutnya, seseorang dapat dikenakan delik pidana gratifikasi seperti yang diatur Pasal 5 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jika pelakunya merupakan pegawai negeri atau penyelenggara negara.
"Hak imunitas yang menyatakan kerugian yang terjadi pada BUMN dan Danantara bukan kerugian negara itu tidak tepat," kata Jundi.
Baca Juga
Dia kemudian menekankan seharusnya persoalan penetapan kerugian penyelenggaraan badan sebagai kerugian negara kembali pada interpretasi aparat penegak hukum secara komprehensif dan bijaksana serta bukan persoalan dari pemberlakuan suatu norma undang-undang.
"Kami juga mempersoalkan norma yang menyebut pejabat atau pegawai atau karyawan Danantara bukan merupakan penyelenggara negara. Padahal seluruh sumber modal Danantara berasal dari aset negara dan dividen BUMN serta organ penyelenggara Danantara pun dibiayai dan didukung oleh modal negara," ujarnya.
Menurutnya, pengecualian terhadap organ Danantara dari kategori penyelenggara negara juga telah mendiskriminasi dan membuka peluang bagi operasional yang tidak transparan pada perusahaan pelat merah.
"Ini sekaligus menimbulkan ketidaksesuaian normatif yang bisa merugikan kepentingan publik sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945," tuturnya.
Kekhawatiran KPK
Keberadaan pasal 'kebal hukum' di UU BUMN itu juga dikhawatirkan oleh aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka cukup khawatir jika aturan itu justru kontraproduktif dan menyulitkan penyidik untuk menangani perkara yang menjerat direksi BUMN.
"KPK memaknai ada beberapa ketentuan yang dianggap akan membatasi kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang terjadi di BUMN," ujar Ketua KPK Setyo Budiyanto melalui keterangan resmi, Rabu (7/5/2025).
Setyo menuturkan KPK telah menyampaikan tanggapannya secara khusus pada dua pasal di UU BUMN. Yaitu terkait dengan hilangnya status penyelenggara negara bagi direksi, komisaris dan dewan pengawas BUMN, serta mengenai kerugian BUMN dianggap bukan kerugian negara.
Mengenai aturan bahwa anggota direksi/dewan komisaris/dewan pengawas BUMN bukan status penyelenggara negara, yang diatur dalam pasal 9G UU No. 1/2025, Setyo menyebut ketentuan itu kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Utamanya, pasal 1 angka 1 serta pasal 2 angka 7 beserta penjelasannya yang tertuang dalam UU No. 28/1999.
Perwira tinggi Polri bintang tiga itu menjelaskan, UU No.28/1999 merupakan hukum administrasi khusus yang bertujuan untuk mengurangi adanya KKN. Oleh sebab itu, dia menegaskan penegakan hukum kasus korupsi berkenaan dengan penyelenggara negara akan berpedoman pada UU tersebut.
Di sisi lain, pasal 9G UU BUMN yang baru dalam penjelasannya menyebut: "Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang."
Ketentuan demikian, lanjut Setyo, dapat dimaknai bahwa status Penyelenggara Negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.
"Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999," tegas Setyo.
Oleh sebab itu, dengan sikap tersebut, maka direksi/komisaris/dewan pengawas BUMN tetap wajib melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) serta penerimaan gratifikasi.
Pasal Kebal Korupsi
Sementara itu, mengenai pasal 4B UU BUMN yang mengatur bahwa kerugian BUMN bukan kerugian keuangan negara, serta pasal 4 ayat (5) berkenaan dengan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan BUMN.
Atas aturan tersebut, KPK menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan. Putusan MK dimaksud yakni No.48/PUU-XXI/2013 dan No.62/PUU-XI/2013 yang kemudian dikuatkan dengan masing-masing putusan No.59/PUU-XVI/2018 dan No.26/PUU-XIX/2021.
Setyo menerangkan bahwa MK telah memutuskan bahwa konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN, yang merupakan derivasi penguasaan negara.
"Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan Negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana (TPK) kepada Direksi/Komisaris/Pengawas BUMN," lanjut Setyo.
Meski demikian, Setyo mengingatkan bahwa kerugian keuangan negara di BUMN dapat dipidanakan sesuai UU Tipikor selama itu akibat dari perbuatan melawan hukum/penyalahgunaan wewenang/penyimpangan atas prinsip Business Judgement Rule (BJR).
Prinsip BJR itu tertuang pada pasal 3Y dan 9F UU No.1/2025, di mana diatur bahwa kerugian keuangan negara yang dapat dipidanakan harus diakibatkan oleh fraud, suap, ketiadaan itikad baik, konflik kepentingan serta kelalaian dalam mencegah timbulnya kerugian keuangan negara oleh para petinggi BUMN.
"Dari uraian tersebut, KPK berpandangan bahwa KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan TPK yang dilakukan oleh Direksi/Komisaris/Pengawas di BUMN," pungkas Setyo.
Erick Thohir Koordinasi
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengaku berkoordinasi dengan berbagai lembaga untuk membahas sederet perubahan di tubuh perusahaan pelat merah menyusul lahirnya UU BUMN. Salah satunya mengenai posisi komisaris hingga direksi BUMN yang diatur bukan merupakan penyelenggara negara.
Erick menjelaskan kementeriannya saat ini masih berkoordinasi untuk menyinkronkan berbagai aturan baru di UU BUMN, termasuk mengenai status penyelenggara negara pada petinggi pelat merah. Dia menyebut koordinasi dilakukan salah satunya dengan KPK.
Lebih lanjut, Menteri BUMN sejak 2019 itu memastikan bakal ada peraturan turunan yang akan mendefinisikan lebih lanjut aturan mengenai status penyelenggara negara bagi komisaris-direksi BUMN sebagaimana tertuang di dalam UU.
Menurutnya, beleid tersebut belum sepenuhnya dijalankan dan masih dirapikan sebelum seutuhnya diterapkan.
"Iya pasti, ini kan namanya baru lahir. Baru lahir, belum jalan. Justru kita rapikan sebelum jalan, daripada nanti ikut geng motor tabrak-tabrakan, mendingan kita rapikan," kata pria yang merangkap sebagai Ketua Dewan Pengawas Danantara itu.