Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sengkarut Rasuah Pengadaan Baju Hazmat

Kasus korupsi baju hazmat alias APD pandemi Covid-19 memicu kontroversi, masing-masing pihak keberatan dengan dalil pemidanaan.
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta/ KPK
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta/ KPK

Bisnis.com, JAKARTA -- Kasus korupsi Alat Pelindung Diri alias APD Covid-19 memasuki babak baru. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dikabarkan segera mengumumkan dan menahan para tersangka dalam perkara yang ditengarai merugikan negara miliaran rupiah tersebut.

*** 

Satrio Wibowo, mengenakan kaos oblong warna putih ketika memasuki ruang rapat. Dia segera mengeluarkan spidol dan mulai mencoret-coret papan tulis putih yang berada persis di depannya.

Siang itu, Satrio memang sedang menjelaskan seluk beluk kasus korupsi APD (hazmat) yang menjeratnya. Dia mengungkap kronogi kasus di kantor pengacara yang berada di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

"Kita langsung mulai saja ya," ucap Satrio saat ditemui Bisnis, Senin (12/8/2024) lalu.

Satrio adalah petinggi PT Energi Kita Indonesia atau PT EKI. Perusahaan ini adalah salah satu pemegang izin pengadaan APD untuk kebutuhan penanganan Covid-19 beberapa waktu lalu. Namun demikian, proyek itu kemudian memunculkan masalah. Selain pidana, pengadaan proyek APD juga berujung sengketa perdana di pengadilan. Eksistensi PT EKI dan PT Permana Putra Mandiri jadi sorotan.

Satrio Wibowo
Satrio Wibowo

Berdasarkan catatan Bisnis, KPK melakukan penyidikan terhadap kasus tersebut sejak September 2023. Penegak hukum menduga pengadaan 5 juta set APD Covid-19 dengan nilai sekitar Rp3,03 triliun dikorupsi. Kerugian negara yang ditimbulkan diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah.

Sementara itu dalam kasus perdata, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan mengalami kekalahan di pengadilan tingkat pertama. Kemenkes dan BNPB diperintahkan untuk menyerap sebanyak sisa 1,85 juta APD itu namun dengan harga Rp170.000 per set APD. Putusan ini diperkuat di tingkat banding alias Pengadilan Tinggi. Sengketa itu masuk dalam takap kasasi.

Adapun versi Satrio, kasus itu bermula ketika perusahaannya yakni PT EKI berperan sebagai pemilik barang, sedangkan PT PPM sebagai distributor. Perjanjian pengadaan dilakukan antara PT PPM dan pemerintah yang diwakili oleh Pejabat Pembuat Komitmen dari Kementerian Kesehatan (PPK Kemenkes). Menurut Satrio, APD yang dimiliki PT EKI merupakan mereka Boho, yang diproduksi oleh perusahaan Korea Selatan.  

Selain gugatan wanprestasi yang saat ini sudah masuk tahap kasasi, pengadaan itu pula yang membuat Satrio dan dua orang lainnya terjerembab di kasus pidana korupsi. Dua orang lain itu yakni Direktur Utama PT PPM Ahmad Taufik dan mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan sekaligus PPK Kemenkes Budi Sylvana.

Awalnya, pada 28 Maret 2020, PPK Budi Sylvana, Satrio dan Taufik menandatangani Surat Pesanan No.KK.No.02.01/460/01/2020. Isinya, yakni untuk pemesanan 5 juta set APD. Biaya yang dikeluarkan negara berasal dari Dana Siap Pakai atau DSP milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kemudian, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk pengadaan itu berasal dari Kemenkes.

Pada saat itu, cerita Satrio, kondisi darurat pandemi Covid-19 membuat nihilnya proses pengadaan seperti biasanya, sehingga APD langsung diambil oleh Gugus Tugas. Dia menyebut pihak TNI yang langsung mengambil barang di gudang. 

"Jadi tidak ada tuh urusan PPK harus survei dulu, PPK harus buat harga perkiraan sementara. Itu belum sempat, karena darurat. Pada tanggal tersebut, diambil lah oleh TNI secara paksa," ujarnya kepada Bisnis, Agustus 2024 lalu.

Satrio menyebut negosiasi harga antara pemerintah dan PT EKI dan PT PPM berlangsung alot. Dia mengklaim sempat meninggalkan ruangan rapat pada 28 Maret 2020 saat itu, namun akhirnya kembali setelah dibujuk. Menurutnya, saat itu harga satu set APD di pasar bisa mencapai Rp1 juta. 

Meski demikian, akhirnya para pihak menyepakati satu set APD dihargai US$48 atau sekitar Rp700.000. Harga itu untuk pemesanan 2 juta set APD pertama merek Boho. Pemesanan lalu dilanjutkan untuk masing-masing 1 juta set dan 2 juta set APD. Namun, mereknya berganti menjadi Kaltech. Satrio mengatakan PT EKI tidak dilibatkan dalam pengadaan APD Kaltech sebanyak total 3 juta set itu. 

Harganya pun semakin turun pada setiap pemesanan. Sempat ada negosiasi ulang dengan PT PPM dan PT EKI pada Mei 2020, sehingga biaya untuk 1 juta set APD menjadi Rp294.000 per set. Singkat cerita, klaim Satrio, harga terakhir menjadi di angka Rp170.000. 

Adapun dalam tiga kali pemesanan, Satrio menyebut pihak PPK belum membayarkan keseluruhan biaya yang ditagihkan. Untuk 2 juta set APD pertama, pihak PT EKI dan PT PPM memberikan tagihan sebesar Rp1,3 triliun. Biaya yang sudah dibayarkan baru Rp719 miliar. 

Uang Rp719 miliar itu pun, lanjut Satrio, baru masuk ke pihak PT PPM. Dia menyebut jatah PT EKI seharusnya Rp140 miliar dari total nilai itu, namun belum diterima dari PT PPM. 

Menurut Satrio, negara masih berutang ke PT PPM dan PT EKI Rp676 miliar untuk 2 juta set APD pertama yang telah dipesan. Di luar itu, negara juga disebut belum membayar Rp50 miliar untuk 1 juta set APD kedua merek Kaltech kepada PT PPM. 

Namun, belum lunas pembayaran negara, pemesanan disetop sementara karena muncul audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Auditor menyebut ada ketidakwajaran harga sebesar Rp625 miliar dari biaya Rp1,3 triliun yang ditagihkan PT PPM dan PT EKI untuk 2 juta set pertama APD.

Ketidakwajaran harga itu disebabkan karena PT PPM yang menerima surat pesanan dari Kemenkes tidak bisa langsung membeli barang ke produsen. Audit BPKP pada 22 Mei 2020 itu menyebut PT PPM harus membeli barang melalui PT EKI sehingga memutus rantai pasok langsung dari produsen ke PT PPM. 

"Sedangkan berdasarkan surat pesanan No.KK.No.02.01/460/01/2020 tanggal 28 Maret 2020, tidak terdapat satu klausul pun yang menyatakan bahwa Penggugat dalam pemenuhan APD tersebut harus melalui PT Energi Kita Indonesia," demikian dikutip dari salinan putusan PN Jakarta Selatan 2022 lalu, yang memenangkan PT PPM atas tergugat dari pemerintah. 

Di samping itu, audit BPKP kedua pada 16 Desember 2020 juga masih menemukan ketidakwajaran harga pada pemesanan sebanyak 1 juta set APD Kaltech PT PPM. Ada ketidakwajaran harga Rp48,1 miliar dari total tagihan Rp294 miliar.  BPKP lalu menyimpulkan dari dua audit tersebut bahwa total sisa temuan ketidakwajaran harga yang masih harus dikembalikan ke negara yakni Rp8,1 miliar. 

Ketidakwajaran harga Rp625 miliar itu yang menjadi landasan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memulai proses hukum. Budi Sylvana, Satrio Wibowo dan Ahmad Taufik kini menjadi tersangka dan dijerat pasal 2 dan 3 Undang-undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

Satrio merasa keberatan karena audit dilakukan padahal masih ada 1,85 juta set APD yang belum diserap. Pria itu menyebut Rp625 miliar yang muncul di audit BPKP itu pun belum keluar dari kantong negara. 

"Di sini [audit] tertulis tidak wajarnya Rp625 miliar. Nah seolah-olah ini kerugian negara, padahal belum dibayarkan oleh negara," ucapnya.

Penasihat hukum PT PPM, Donal Fariz tidak banyak berkomentar. Dia menyebut bahwa semuanya sudah terbukti dalam persidangan. Donal juga menyatakan pihaknya menghormati upaya hukum kasasi yang akan ditempuh Budi Sylvana. "Silakan. Itu hak yang bersangkutan secara hukum," katanya kepada Bisnis, Minggu (22/9/2024). 

Adapun mengenai perkara di KPK, Donal berpendapat bahwa kliennya merupakan pihak yang dirugikan berdasarkan putusan pengadilan tingkat pertama dan kedua. Dia memastikan tidak pihaknya tidak ikut-ikutan terlibat apabila ada persekongkolan. 

"Mungkin saja ada pihak-pihak lain yang bersekongkol, akan tetapi kami pastikan itu bukan PPM. Sehingga menurut kami penetapan tersangka tersebut janggal," katanya. 

Bantahan Kubu Kemenkes

Di sisi lain, kubu PPK Kemenkes, Budi Sylvana mengaku akan menempuh jalur kasasi usai kalah di pengadilan hingga tingkat banding. "Iya, saya mengajukan kasasi," ujarnya kepada wartawan usai diperiksa penyidik KPK, Juni 2024 lalu. 

Seperti halnya Satrio dan Taufik, Budi turut ditetapkan tersangka pada penyidikan yang dilakukan oleh KPK. Pria yang kini telah dicopot dari jabatannya itu mengaku bukan pihak yang menetapkan harga pada APD Covid-19 maupun menunjuk perusahaan penyedia APD.

Menurut Budi, dia hanya mengikuti perintah jabatan ketika menjadi PPK menggantikan Eri Gunawan dalam pengadaan tersebut. "Saya ditunjuk sebagai PPK oleh pimpinan saya. Ya karena perintah jabatan, ya saya tidak bisa menghindar saat itu," katanya.

Pria yang juga sebelumnya menjabat sebagai Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes itu lalu mengakui tidak membayar keseluruhan kontrak pengadaan APD dengan PT PPM. 

Menurutnya, APD yang dipesan dari PT PPM tidak semuanya dibayar oleh pemerintah karena adanya audit BPKP yang menunjukkan dugaan ketidakwajaran harga. Namun, dia membantah apabila ada dugaan pengadaan fiktif atau penggelembungan harga (mark up). "Kalau fiktif enggak ya. Cuma ada ketidakwajaran harga, hasil audit BPKP," tuturnya. 

Alhasil Budi Sylvana, Kemenkes dan BNPB ikut digugat secara perdata oleh Direktur Utama PT PPM Ahmad Taufik. Mantan pejabat Kemenkes itu kalah hingga tahap banding oleh PT PPM, dan kini masih menempuh jalur kasasi. 

"Cuma memang akhirnya saya menunda, saya tidak membayar gitu. Sehingga akibatnya saya juga dituntut di perdata. Mereka menuntut saya untuk membayar. Saya tidak membayar dalam hal ini," ucap Budi. 

Pihak Budi Sylvana juga membantah bahwa ada aliran dana yang diterima olehnya. Ali Yusuf, kuasa hukum Budi menyebut kliennya hanya sekadar juru bayar.  "Tidak ada sepeserpun uang mengalir ke beliau. Jadi uang banyaknya mengalir ya tentunya siapa yang memiliki DSP itu, Dana Siap Pakai. Itulah mereka yang tahu banget soal itu," kata Ali pada kesempatan yang sama. 

Ali pun menyebut nama Harmensyah, Widyaiswara BNPB yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Utama atau Sestama BNPB. Harmensyah disebut sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA). "Kuasa pengguna anggaran dari BNPB juga namanya Harmensyah," lanjutnya. 

Untuk diketahui, Harmensyah merupakan satu dari lima pihak yang dicegah bepergian ke luar negeri terkait dengan kasus tersebut. Empat orang lainnya yakni advokat A. Isdar Yusuf serta tiga tersangka yaitu Budi Sylvana, Satrio Wibowo danAhmad Taufik. Pada Juni 2024, KPK menambah daftar cegah itu sebanyak tiga orang yakni SLN (dokter) serta ET dan AM (swasta). 

Bisnis telah menghubungi Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kemenkes Sundoyo, Juru Bicara Kemenkes Siti Nadia Tarmizi serta Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari untuk meminta tanggapan. Namun, belum ada respons dari ketiganya sampai berita ini dinaikkan. 

Meski demikian, Jubir Kemenkes Siti Nadia Tarmizi pada November 2023 lalu pernah menanggapi soal penyidikan yang dilakukan KPK. Dia menyebut pihaknya masih mempelajari ihwal kasus dugaan pidana itu. 

Adapun pihak BNPB menyebut juga menempuh jalur kasasi terhadap putusan banding PT DKI Jakarta. "Sedang berproses kasasinya, Mas," ujar Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi BNPB Abdul Muhari melalui pesan singkat kepada Bisnis, Minggu (22/9/2024). 

Abdul enggan berkomentar lebih lanjut soal gugatan wanprestasi maupun penyidikan di KPK. "Kita ikuti proses hukumnya saja, supaya nanti tidak beropini di luar proses hukum yang sedang berjalan," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper