Bisnis.com, JAKARTA -- Selain kisah Amangkurat I, sejarah mencatat bahwa Mataram Islam terpecah menjadi 2 yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Pecahnya Mataram Islam terjadi hanya beberapa tahun setelah pemindahan ibu kota dari Kartasura ke Surakarta (Solo).
Solo atau Surakarta memiliki sejarah pertentangan yang panjang. Kota Solo adalah saksi perang suksesi yang berujung kepada terbelahnya kekuasaan Jawa pada abad ke 18. Solo juga menjadi saksi munculnya benih-benih perlawanan terhadap hegemoni dinasti politik Mataram yang berkuasa selama ratusan tahun.
Dinasti politik Mataram merujuk kepada trah atau klan politik penguasa Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati. Pusat pemerintahan dinasti ini berganti-ganti mulai dari Kota Gede, Karta, Plered, Kartasura, Surakarta atau Solo, hingga kemudian terpecah menjadi dua kerajaan mayor di Solo dan Yogyakarta.
Perpindahan pusat kota dari Kartasura ke Surakarta (Solo) ditandai oleh Geger Pecinan dan sebuah perang suksesi yang cukup rumit. Geger Pecinan bermula dari pembantaian etnis China di Batavia oleh VOC. Sisa etnis China yang selamat melarikan diri ke timur dan bersatu dengan pasukan Jawa yang anti-Pakubuwono II.
Perang ini membuat Kraton Kartasura jatuh pada Juni 1742. Benteng batu bata merah yang mengelilingi Kraton jebol. Raja Kasunanan Surakarta pada waktu itu, Pakubuwono II melarikan diri ke Ponorogo.
Imbas Geger Pecinan dan perebutan kekuasaan di lingkup para ningrat Jawa itu kemudian menjadi titik penting mundurnya kekuasaan Mataram Islam. Sebab, demi duduk kembali ke tampuk kekuasaan, Pakubuwono II akhirnya bersekutu dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Dia kemudian menyerahkan wilayah pesisir Jawa yang kaya kepada VOC sebagai balas budinya.
Baca Juga
Kembalinya Pakubuwono II ke tampuk kekuasaan juga ditandai dengan peralihan pusat pemerintahan Mataram. MC Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Pakubuwono II memutuskan untuk meninggalkan Kartasura dan memilih penggantinya 12 kilometer dari Sungai Sala. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai Kota Surakarta atau Solo.
"Dia mendirikan sebuah istana baru, Surakarta, yang nantinya didiami oleh keturunannya," tulis Ricklefs.
Pemindahan istana raja dari Kartasura ke Surakarta menjadi bukti bahwa ide memindahkan pusat kekuasaan bukan pertama kali terjadi dalam sejarah Indonesia. Pada era klasik atau era kerajaan, pemindahan pusat kerajaan bahkan terjadi berkali-kali.
Umumnya pemindahan itu berkaitan dengan peristiwa besar. Pada masa Medang atau Mataram Kuno, misalnya, pemindahan pusat kerajaan terjadi karena Pralaya atau bencana besar. Sedangkan pada masa Mataram Islam, pemindahan ibu kota biasanya terjadi karen adanya geger, perang, dan konflik antar anggota dinasti. Salah satu episodenya adalah perang suksesi yang memicu pemindahan ibu kota Mataram dari Kartasura ke Surakarta (Solo).
Namun demikian, pemindahan ibu kota tidak selamanya menghilangkan konflik. Kasus Mataram dan pemindahan istana raja dari Kartasura ke Surakarta, rupanya tidak benar-benar menghentikan pertumpahan darah. Raden Mas Said, kelak bergelar Mangkunegara I, dan para pangeran Jawa lainnya tetap melakukan perlawanan.
Pakubuwono II yang terjepit dan lemah menganggap perlawanan Mas Said sebagai ancaman. Namun upaya berupaya meredam perlawanan tidak banyak menghasilkan kemajuan. Ricklefs mencatat bahwa, Raja kemudian membuat sayembara kepada siapapun yang berhasil mengusir Mas Said dari daerah Sukowati (Sragen), akan diberi hadiah berupa tanah sejumlah 3.000 cacah.
Pangeran Mangkubumi, kelak Sultan Hamengkubuwono I, menerima sayembara dari Raja. Dia bersama pasukannya bergerak ke Sukowati. Terjadi pertempuran antara pasukan Mangkubumi dengan Raden Mas Said. Mangkubumi menang dan berhasil mengusir pasukan Mas Said dari daerah tersebut. Dia kemudian menagih janji Pakubuwono II.
Namun janji tinggal janji. Pakubuwono II termakan bujuk rayu dari Patih Pringgalaya musuh bebuyutan Mangkubumi. Dia batal memberikan tanah 3.000 cacah ke Mangkubumi.
Mangkubumi yang marah memimpin pasukannya berjumlah 13.000 prajurit, termasuk 2.500 pasukan kavaleri melakukan perlawanan. Dia memerangi Pakubuwono II dan VOC. Perang suksesi Jawa jilid ke III pecah. Namun di tengah peperangan, Pakubuwono II meninggal dunia. Raja penggantinya, Pakubuwana III harus menghadapi aksi pemberontakan Mangkubumi dan Mas Said.
Perang dengan Mangkubumi berakhir setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 1755.
Perang Sukesi Jawa III menjadi penanda pecahnya Jawa. Mataram Islam bubar. Wilayah yang dikuasai Pakubuwono III disebut sebagai Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sedangkan wilayah Pangeran Mangkubumi dikenal sebagai Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Mangkubumi kemudian memiliki gelar sebagai Sultan Hamengkubuwono I.
Sejak saat itu Jawa diperintah oleh dua raja. Sultan di Yogyakarta dan Pakubuwono di Surakarta. Meski demikian, dalam episode selanjutnya, dua pecahan kekuasaan Mataram itu masih harus terbagi. Mas Said masih memberontak dan baru menyerah pada tahun 1757. Dua tahun setelah Perjanjian Giyanti. Dia memperoleh sebagian wilayah Kasunanan Surakarta. Dia kemudian bergelar Mangkunegara I.
Kasultanan Yogyakarta juga mengalami nasib serupa. Pada era penjajahan Inggris di bawah Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles 1811-1816, sebagian wilayah Yogyakarta kemudian dihadiahkan kepada Pangeran Notokusumo yang bergelar Paku Alam I. Wilayahnya disebut sebagai Pakualaman. Munculnya Pakualaman adalah konsekuensi dari konflik antara Sultan Hamengkubuwono II dengan penguasa Inggris, Raffles.