Bisnis.com, JAKARTA — Penyaluran bantuan sosial (bansos) di tengah perhelatan Pemilu menjadi salah satu dalil yang ditekankan pihak Ganjar Pranowo-Mahfud Md dalam lanjutan sidang perkara sengketa hasil Pilpres 2024 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (2/4/2024).
Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengatakan anggaran bansos saat Pemilu 2024 bahkan lebih besar daripada periode Pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Dia pun mempertanyakan alasan kenaikan anggaran bansos itu lantaran dianggap sangat politis.
"Ini kita kan tidak pandemi lagi gitu, kita ini endemik dan seharusnya tidak sebesar itu tapi kenapa angka itu naik, jawabannya itu adalah sangat politik ya," tuturnya.
Bahkan, Todung menuding bahwa kenaikan anggaran bansos tersebut adalah untuk memenangkan paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pemilu 2024.
Menurutnya, hal tersebut terungkap dari para ahli yang dihadirkan oleh Tim Hukum Ganjar-Mahfud di MK.
"Saya kira justifikasi satu-satunya untuk kenaikan penyaluran Bansos itu adalah justifikasi politik untuk memenangkan paslon 02. Itu kesimpulan yang sangat umum ya dan itu kita bisa dapat dari presentasi para ahli yang kami hadirkan dari pagi sampai siang ini," katanya.
Baca Juga
Todung mengkritik pembagian bansos itu karena masyarakat bisa terpancing untuk memilih salah satu paslon di Pemilu 2024.
"Mengenai bansos, semua mengatakan bahwa bansos itu punya impak terhadap voting behavior. Jadi kita hidup dalam satu iklim yang ditandai dengan ada personalize politik. Politik itu has become to personalize," tuturnya.
Selain itu, Todung menyebut bahwa tokoh yang membagikan bansos tersebut kepada masyarakat juga dinilai bisa memprovokasi publik agar memilih paslon tertentu.
Menurutnya, pengaruh sosok sangatlah besar ketika membagikan bansos ke masyarakat menjelang pencoblosan. Pasalnya, hal itu bisa menentukan perilaku politik pemilih dalam menentukan pilihannya.
"Tentu dalam beberapa hal tokoh bisa juga dilihat secara negatif kalau dia memainkan perannya secara negatif ya tapi yang pasti tokoh itu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap voting behavior atau perilaku politik atau perilaku pemilih dalam menentukan pilihannya," katanya.
KETERANGAN AHLI
Seperti diketahui, sidang dengan nomor perkara 2/PHPU.PRES-XXII/2024 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dengan pemohon Ganjar dan Mahfud itu beragendakan pemeriksaan perkara dengan jadwal acara pembuktian pemohon. Paslon 03 di Pilpres 2024 itu pun menghadirkan sembilan ahli dan sepuluh saksi.
Salah satu ahli yang dihadirkan ekonom senior Didin S. Damanhuri. Menurutnya, alokasi bansos pada 2024 mengalami lonjakan dari tahun-tahun sebelumnya. Pemberian bansos tunai maupun beras menjelang Pemilu 2024 adalah bentuk kampanye terselubung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memenangkan anaknya yang sedang berkontestasi.
Dengan kata lain, Presiden Jokowi memanfaatkan fasilitas negara di tengah ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi Covid-19.
“Bansos tunai dan beras yang seharusnya merupakan hak orang miskin, dikelaim sebagai bantuan dari Jokowi, dalam rangka pemenangan Paslon 02,” kata Didin.
Dia menilai penggelontoran bansos menjelang pencoblosan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) dalam bentuk BLT Mitigasi Risiko Pangan yang belum masuk Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) Tahun 2024 merupakan tindakan sepihak Presiden Jokowi tanpa persetujuan DPR.
Apalagi, jelasnya, penggelontoran bansos secara masif pada 2024 dengan keterlibatan para ketua umum partai politik pengusung Paslon 02 Prabowo-Gibran, Presiden Jokowi, serta sejumlah menteri, tanpa mengambil cuti telah menggunakan fasilitas jabatan dan sumber daya negara untuk kepentingan elektoral.
Menurut Didin, hal demikian merupakan manifestasi dari "Pork Barrel Politics" atau politik gentong babi seperti yang dipraktikkan anggota legislatif Amerika Serikat. Praktik politik ini menjadi sangat efektif ketika perekonomian masyarakat Indonesia belum pulih pascapandemi Covid-19.
Pada saat itu, bansos pangan maupun tunai seperti oase yang mengobati krisis ekonomi tingkat bawah, yang notabene tingkat literasi politiknya rendah dan lebih dari 50% penduduknya miskin dan nyaris miskin. Dengan demikian, kata Didin, sebagian besar masyarakat memandang bansos pangan maupun tunai sebagai kebaikan Presiden Jokowi yang harus dibalas dengan memilih paslon yang didukungnya.
Selain itu, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan, potensi manipulasi bantuan untuk memperkuat basis dukungan elektoral partai atau pemimpin yang berkuasa, sering kali mengorbankan distribusi yang adil dan berbasis kebutuhan.
Menurutnya, fenomena tersebut dikenal sebagai klientelisme, memperlihatkan bagaimana bantuan sosial dapat digunakan untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada daripada melayani kepentingan publik secara umum.
“Bantuan sosial telah menjadi alat penting dalam politik tidak hanya sebagai sarana untuk membantu masyarakat yang kurang mampu, tetapi juga sebagai strategi politik untuk mempengaruhi perilaku pemilih,” jelas Hamdi.