Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Setara Institute Ismail Hasani menyoroti adanya normalisasi pelanggaran konstitusi dalam penetapan Putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres peserta Pilpres 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Diketahui, tiga pasangan capres-cawapres baru saja ditetapkan oleh KPU sebagai peserta Pilpres 2024 mendatang, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, serta Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
“Meskipun melaju ke gelanggang pemilihan presiden dengan mengorbankan demokrasi, merusak kepatuhan pada konstitusi dan meruntuhkan marwah Mahkamah Konstitusi, secara legal-fornal langkah Gibran dianggap sah oleh KPU,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (14/11/2023).
Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyoroti normalisasi pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh KPU karena meloloskan Gibran.
Menurutnya, hal ini memperparah kenyataan bahwa beberapa lembaga survei melakukan kampanye publik bahwa langkah Gibran dianggap oleh mayoritas responden bukan politik dinasti, serta sejumlah pakar hukum yang juga memberikan justifikasi.
“Kini normalisasi juga dilakukan oleh KPU dengan meloloskan Gibran Rakabuming Raka yang berhasil memenuhi syarat sebagai kandidat, meskipun pelanggaran etik berat melekat dalam pengambilan Putusan No. 90/PUU-XXI/2023,” lanjutnya.
Baca Juga
Hal yang sama juga diungkapkannya untuk DPR, yang dianggap tidak melakukan pertimbangan dengan matang saat membahas Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Peserta Pilpres.
“Aspek moralitas dan etika politik serta tidak adanya legitimasi politik atas putusan tersebut, semestinya menjadi pertimbangan DPR RI saat membahas PKPU 19/2023 tentang Pencalonan Peserta Pilpres, yang mengubah syarat usia Capres-Cawapres dengan putusan MK yang kontroversial. Nyatanya DPR juga sama, melakukan nornalisasi pelanggaran konstitusi,” tutur Ismail.
Dia kemudian mengutip tanggapan beberapa tokoh bangsa terkait permasalahan tersebut, seperti ucapan Ketua PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri yang menyebut adanya upaya manipulasi hukum, serta Ketua Partai NasDem Surya Paloh yang menyebut bahwa ada upaya membawa negara dan aparaturnya melayani kepentingan pribadi dan golongan.
Itu sebabnya, pihaknya menolak normalisasi pelanggaran konstitusi dengan tetap mendorong publik peka dan menjadikan kontroversi Putusan 90/PUU-XXI/2023 sebagai variabel dalam menentukan pilihan dalam Pemilu nanti.
“Cara ini sekaligus sebagai bagian pengawasan publik agar Pemilu dijalankan secara berintegritas dan adil. Setara Institute mendorong penyelenggara Pemilu menjadi aktor utama yang menjaga integritas Pemilu, sehingga tercipta keadilan elektoral [electoral justice] pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu,” pungkas Ismail.