Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menekankan bahwa kebijakan antideforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) dapat menggangu capaian tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) dari Indonesia maupun Malaysia.
Hal ini disampaikannya usai melapor ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Senin (5/6/2023) atas hasil pertemuan Indo-Pacific Economic Framework For Prosperity (IPEF) Ministerial Conference pada 26-27 Mei 2023 di Detroit, Amerika Serikat (AS).
Ketua Umum Golkar ini pun menilai bahwa undang-undang yang mengatur perdagangan komoditas bebas deforestasi itu mengecilkan semua upaya Indonesia yang berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan terkait isu perubahan iklim hingga perlindungan biodiversity, sesuai dengan kesepakatan, perjanjian, dan konvensi multilateral seperti Paris Agreement.
“Kami sampaikan dalam forum bahwa UU Deforestasi ini menggangu capaian SDGs dari Indonesia—Malaysia. Jadi, UU ini bersifat diskriminasi dan punitif karena SDGs Indonesia-Malaysia sebagai anggota United Nation, WTO yang patuh dengan ILO dan UNFCC sehingga UU ini berlebihan, tetapi kita tidak bisa protes karena ini hak mereka,” tuturnya kepada wartawan.
Kendati demikian, dia menyebut bahwa atas dasar keberatan tersebut maka hadir misi gabungan Indonesia dan Malaysia yang secara resmi akan menyampaikan keprihatinan terhadap kebijakan EUDR yang baru disahkan.
“Jadi kami protes dalam implementing regulation, pertama lag of clarity dan transparansi jadi gak transparan barang apa yang mesti masuk standar seperti apa,” imbuhnya.
Baca Juga
Lebih lanjut, Airlangga pun menilai bahwa EUDR pun merupakan kebijakan yang menguntungkan perusahaan karena telah memiliki sistem yang terintegrasi, sehingga aturan tersebut akan lebih merugikan petani.
“Saya sampaikan bahwa Undang-undang ini cenderung menguntungkan perusahaan besar, karena perusahaan besar terintegrasi tetapi merugikan kepada 15 juta petani di Indonesia dan merugikan kepada 700.000 petani di Malaysia. Karena ongkos untuk verifikasi itu kan tidak murah. Nah, itu dibebankan kepada siapa,” imbuhnya.
Tak hanya itu, Airlangga menyebut bahwa misi gabungan Indonesia-Malaysia turut melayangkan protes, lantaran ada peringkat negara dengan tingkat deforestasi di dunia. Menurutnya, pemeringkatan tersebut tak patut untuk dilakukan sebuah negara terhadap negara lainnya.
“Nah, ada lagi yang saya sampaikan protes, mereka [Eropa] itu membuat rating negara, jadi negara yang deforestasi itu mereka rating dari high risk, standar, dan low risk, sedangkan Indonesia adalah sovereign country sama dengan Malaysia, sehingga tidak tepat sebuah negara membuat rating dari negara lain apalagi ini EU yang membuat rating. Kecuali rating ekonomi seperti Standard & Poor's (S&P) Moody's itu kan jelas tetapi kalau ini mengatakan kalau Indonesia high risk, Malaysia high risk dan sebagainya atau low risk itu tidak bisa terutama konsekuensi terhadap cost,” ujarnya.
Menurutnya, ketentuan utama EUDR berpotensi akan sangat merugikan dan menyulitkan para petani smallholders termasuk penerapan geolocation plot lahan kelapa sawit dan country benchmarking system yang akan membagi negara dalam 3 kategori yakni high risk, standard dan low risk.
Bahkan, menyangkut benchmarking, Airlangga menegaskan bahwa sebagai sesama negara anggota yang tunduk pada ketentuan hukum dan konvensi/persetujuan internasional, ketentuan EUDR tersebut berpotensi menghambat akses pasar bagi komoditas yang menjadi target EUDR yakni kopi, kakao, kayu, minyak sawit, dan karet.
Alhasil, dia meyakini bahwa tidak luput dari ketentuan ini adalah pemberian citra negatif akan diberikan kepada negara-negara yang digolongkan sebagai high risk.
“Kemudian, apabila sebuah Negara dikategorikan sebagai low risk maka 3 persen produk yang diimpor ke Eropa harus diuji sampel. Nah, kalau itu standar risk itu 6 persen, itu high risk itu 9 persen. Ongkos verifikasi ini siapa yang bayar. Nah, saya katakan kalau di dorong kepada negara produsen sama saja menekan petani, tetapi kalau melewati ke konsumen ya silakan saja konsumen Eropa bayar,” tuturnya.
Menurutnya dengan mengesahkan EUDR, maka secara tak langsung Eropa telah melanggengkan paham imperialisme dalam pendekatan regulasi.
“Saya sampaikan kepada parlemen mereka ini adalah bentuk dari imprelialisme regulasi, karena regulasi mengatur negara lain, (padahal) kita membuat undang-undang untuk negara sendiri, sedangkan ini untuk mengatur negara lain tanpa clarity daripada transparansi. Nah, ini misi yang kemarin saya bahas di Amerika Serikat maupun di Eropa,” pungkas Airlangga.