Bisnis.com, JAKARTA -- Sjamsul Nursalim tampaknya bisa bernafas lega. Dia lolos dari jerat kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), tanpa harus datang ke penegak hukum apalagi bersusah payah beradu argumen di pengadilan.
Toch, tanpa itu semua, Sjamsul bisa lolos. Bebas dari jeratan hukum apapun, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga penegak hukum paling dihormati dan dicintai seluruh anak negeri, mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 kepadanya.
Bagi Sjamsul Nursalim, SP3 KPK adalah suatu kabar gembira. Pasalnya setelah sekian belas tahun, ia akhirnya lolos dari kasus yang membuatnya menyingkir ke negeri jiran, Singapura.
Selain itu, status buron yang melekat kepadanya otomatis dicabut. Sjamsul pun dipastikan bisa bebas keluar masuk ke Indonesia, tanpa harus kucing-kucingan dengan penegak hukum.
"Hari ini kami menghentikan penyidikan tersangka SN dan ISN," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata begitu tegas April tahun lalu.
SN tak lain adalah Sjamsul Nursalim. Sementara ISN adalah istrinya Itjih Sjamsul Nursalim. Sampai awal tahun ini, Sjamsul dan Itjih sebenarnya masih berstatus sebagai orang paling dicari penyidik lembaga antikorupsi.
Lolosnya Sjamsul Nursalim dan Itjih adalah tamparan keras bagi penegakan hukum, khususnya KPK, dalam mengungkap kasus BLBI. Setidaknya ini yang kedua.
Tamparan pertama yakni ketika Syafruddin Temenggung, eks Kepala BPPN yang notabene pejabat pembuat keterangan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor BLBI diputus "bebas" oleh Mahkamah Agung (MA).
MA sebenarnya mengakui bahwa dakwaan KPK sama sekali tidak salah. Hanya saja, MA pada waktu itu berpandangan bahwa tindakan Syafruddin Temenggung bukan suatu tindak pidana.
Padahal, dalam surat dakwaan No.40/TUT.01.04/24/05/2018, penghapusan piutang BDNI kepada petambak serta penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham telah menguntungkan Sjamsul Nursalim sejumlah Rp4,58 triliun.
Jumlah itu sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif BPK Nomor: 12/LHP/XXI/08/2017 tanggal 25 Agustus 2017.
Selain itu, di pengadilan tingkat pertama, Syafruddin dinyatakan bersalah dan kemudian pernah divonis selama 13 tahun penjara oleh hakim tindak pidana korupsi. Pada tahun 2019, di tingkat banding hukuman Syafruddin diperberat menjadi 15 tahun penjara.
Putusan MA dan SP3 KPK tentu 'mencoreng' aparat penegak hukum. Semua dakwaan mentah. Konstruksi hukum amburadul. Di sisi lain, peristiwa itu juga menjadi pukulan telak bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Pasalnya, BPK jelas memiliki andil dalam pengungkapan kasus itu. Apalagi, hasil audit BPK menyebutkan adanya kerugian negara sebesar Rp4,58 triliun. Peristiwa Sjamsul Nursalim dan Syafruddin tentu mementahkan hasil kerja keras dan juga menguji kredibilitas audit yang dikeluarkan BPK.
Imbas Revisi UU KPK?
Sebagian kalangan mengaitkan bebasnya Sjamsul dan Itjih dengan revisi UU KPK. Hal ini bisa benar, bisa juga tidak. Fakta soal SP3 atau penghentian penyidikan memang terkait dengan Pasal 40 UU KPK yang memberi ruang bagi KPK untuk menghentikan penyidikan kasus korupsi.
Banyak pengamat dan bekas pejabat KPK cenderung fokus ke revisi UU KPK. Febri Diansyah, misalnya, eks Juru Bicara KPK yang pernah menjadi penasihat hukum Denny Indrayana, langsung mengaitkan hal itu dengan revisi UU KPK.
"Salah satu bukti manfaat revisi UU KPK," katanya dalam sebuah cuitan menanggapi SP3 Sjamsul Nursalim.
Tetapi terlepas dari ada tidaknya RUU KPK, fakta bahwa tindakan Syafruddin Temenggung bukan suatu tindak pidana menjadi salah satu argumentasi bagi pimpinan KPK untuk membebaskan Sjamsul dari semua sangkaan soal BLBI.
Di sisi lain, sejak putusan MK No.33/PUU-XIV/2016, jaksa atau aparat penegak hukum seperti KPK tak boleh mengajukan peninjauan kembali (PK). Pihak yang dibolehkan mengajukan PK yang terpidana dan ahliwarisnya.
Artinya ada atau tidaknya revisi UU KPK, dalam konteks ini, Sjamsul Nursalim memang harus dibebaskan. Unsur pidanya telah gugur. Menurut MA tak ada pidana dalam kasus ini. Kecuali KPK membuka kasus baru dengan argumentasi yang baru.
Meski demikian, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman beberapa waktu lalu punya argumentasi yang lebih menarik dibandingkan para pihak yang terus menyalahkan revisi UU KPK.
Boyamin mengatakan bahwa putusan bebas Syafrudin Arsyad Temenggung tidak bisa dijadikan dasar SP3 karena Indonesia menganut sistem hukum pidana warisan Belanda yaitu tidak berlakunya sistem jurispridensi.
Artinya, jelas Boyamin, putusan atas seseorang tidak serta merta berlaku bagi orang lain. MAKI pada 2008 pernah memenangkan praperadilan atas SP3 melawan Jaksa Agung atas perkara yang sama, dugaan korupsi BLBI BDNI, dalam putusan praperadilan tahun 2008 tersebut berbunyi pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana korupsi.
"Pertimbangan hakim praperadilan 2008 tersebut akan dijadikan dasar praperadilan yang akan diajukan MAKI," kata Boyamin.
Menurut Boyamin, semestinya KPK tetap mengajukan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Samsul Nursalim ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan sistem in absentia atau sidang tanpa hadirnya terdakwa.
Hal ini karena senyatanya selama ini Sjamsul dan Itjih kabur dan KPK pernah menyematkan status Daftar Pencarian Orang ( DPO ) atas kedua tersangka tersebut. "MAKI merasa keadilan masyarakat tercederai dikarenakan SP3 diberikan kepada orang yang kabur dan buron," kata Boyamin.