Masalahnya juga tidak berhenti di situ. Willy mengungkapkan bahwa ada kesan DPR yang kurang percaya diri sementara apa yang diinginkan pemerintah seperti ‘membuat Prambanan’.
“Apa pun DPR adalah ruang pertarungan politik”, ujarnya.
Dia juga merasa ada presidensialisme yang sangat kuat melemahkan DPR. Inilah yang menimbulkan penilaian publik bahwa proses legislasi di DPR terkesan diskriminatif atau DPR dinilai hanya menjadi stempel pemerintah.
Terkait pembahasan revisi UU ITE, RUU TPKS, RUU PDP), Willy menjamin bahwa RUU PDP akan selesai dengan pembuatan lembaga otoritas independen untuk pengawas data pribadi.
Sementara, pembahasan UU yang lain diharapkan segera dilanjutkan DPR.
Lucius menambahkan, kinerja DPR saat ini sebagai bukti yang hendak mengatakan bahwa anggota DPR terlihat mandul di depan oligarki politik dan penguasa.
“Oligarki partai politik di DPR memandulkan anggota DPR,” tegasnya.
Karena itu, jika produk DPR tidak sesuai dengan keinginan publik, maka bisa dianggap DPR gagal.
”Kalau DPR punya komitmen harus punya niat besar untuk menyelesaikan RUU tersebut”, ungkap Lucius.
Senada dengan Lucius, Sulistyowati juga menganggap tidak semua yang berada di DPR adalah mereka yang tunduk pada kepentingan penguasa. Masih banyak orang baik anggota DPR. Namun, sayangnya mereka yang seperti ini kalah dari penguasa.
Lucius menyebut, sudah menjadi tugas bersama untuk mengegolkan revisi UU ITE, RUU TPKS, RUU PDP).
DPR juga tidak bisa menyalahkan presidensialisme yang kuat. Reformasi telah mendudukkan posisi DPR sebagai lembaga negara yang kuat. Salah satu tugas DPR adalah mengawasi pemerintah. Bukan tunduk di bawah pemerintah.