Jika upah guru honorer dibiarkan begitu saja, ditentukan besarannya oleh kepala sekolah dan pemda dengan nominal semaunya, jelas melanggar UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 ayat 1 (a) berbunyi: “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak (a) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Selain itu, dalam dokumen "Status Guru" dari UNESCO dan ILO disebutkan juga hak guru mendapatkan jaminan sosial. Seperti tertulis berikut: (Pasal 126) "Semua guru tidak peduli sekolah apapun jenisnya, mereka harus menikmati perlindungan berupa jaminan sosial yang sama."
Lalu, Pasal 127 (i): "Guru harus dilindungi oleh tindakan perlindungan jaminan sosial, mengingat diperinci dalam standar minimum konvensi jaminan sosial organisasi buruh internasional. Ada jaminan pengobatan, tunjangan sakit, tunjangan hari tua, tunjangan kecelakaan dalam pekerjaan, tunjangan keluarga, tunjangan melahirkan, tunjangan cacat, dan tunjangan ahli waris."
Regulasi upah layak bagi guru penting demi penghormatan profesi, sehingga profesi guru punya harkat dan martabat di samping profesi lain. Juga, mendorong anak-anak bangsa yang unggul dan berprestasi mau dan berminat menjadi guru.
"Kenyataannya profesi guru tak dihargai, tak bermartabat, karena upahnya tidak manusiawi. Upah guru honorer selama ini sudah melanggar UU Guru dan Dosen serta aturan UNESCO dan ILO. Guru honorer minim apresiasi dan proteksi dari negara. Jadi itulah alasan urgensi dibuatnya Perpres," tegas Satriwan.