Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana ikut menyoroti banyaknya versi draf Omnibus Law UU Cipta Kerja yang beredar di masyarakay sejak disahkan Senin (5/10/2020).
Aditya mengatakan banyaknya versi undang-undang sapu jagad terjadi karena saat pengesahan di Senayan, DPR RI belum bisa memperlihatkan versi draf final hingga halaman terakhir.
“Yang menjadi perdebatan di publik adalah terkait dengan berapa jumlah resminya secara final. Dan kelihatannya, DPR sendiri pada saat itu belum bisa menunjukkan draf final-nya yang benar-benar terakhirnya berapa halaman,” kata Aditya Perdana saat dihubungi Bisnis, Selasa (13/10/2020).
Bukan hanya persoalan banyaknya halaman, Aditya juga mengkritik soal proses pembentukan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang terburu-buru.
Hal itu menjadikan versi draf yang beredar di masyarakat menjadi beranak pinak. Mulai dari satu, dua, hingga yang terakhir lima. Meski terkesan sama, kelima file digital berformat PDF tersebut memiliki jumlah halaman yang berbeda, yakni versi Februari 2020 (1028 halaman), 5 Oktober 2020 (905 halaman), 9 Oktober 2020 (1.052 halaman), 12 Oktober 2020 pagi (1.035 halaman), dan 12 Oktober 2020 malam (812 halaman).
“Memang terkesan sangat buru-buru, tidak solid, dan kurang matang sehingga kemudian ada versi yang banyak berkembang. Semua orang juga mempunyai pandangan yang begitu [tidak transparan]. Yang mengikuti proses RUU Omnibus Law sejak pertama memang sangat khawatir dengan proses yang tertutup dan cenderung tidak partisipatif,” tutur Aditya.
Proses pembentukan UU, katanya, seharusnya melibatkan kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap UU. Meskipun DPR sudah mengklaim melibatkan, kecenderungannya tetap tidak begitu terbuka.
Hal tersebut yang menjadi landasan mengapa kemudian di masa pandemi Covid-19 penyusunan Omnibus Law UU Cipta Kerja terjadi secara singkat.
"Pandemi Covid-19 menjadi penguat buat mereka [DPR] melakukan pertemuan-pertemuan tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik,” kata Aditya.
Dia juga menyayangkan proses pembuatan UU yang sejak awal sudah tertutup dan tidak seharusnya. Padahal, semua kebijakan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah pasti akan mempunyai implikasi untuk masyarakat luas di masa depan.
“Apakah implikasi tersebut [UU Omnibus Law] nanti secara substansi mempermudah perizinan para investor? Persoalan itu yang seharusnya menjadi concern utamanya para investor. Bukan proses pembuatan UU,” pungkasnya.