Bisnis.com, JAKARTA - Pandemi Covid-19 membuat dunia jungkir balik, termasuk ekosistem seni di negeri ini. Setidaknya, ada empat skenario yang bisa terjadi jika negara gagap memulihkan krisis dan terus meminggirkan seni.
Menurut Koordinator Peneliti Kebijakan Seni dan Budaya Koalisi Seni Ratri Ninditya keempat skenario ini terjadi lantaran hilangnya peran negara yang digantikan oleh swasta, baik kelompok maupun individu. Keempatnya sangat mungkin terjadi secara bersamaan
"Indikatornya kita ambil dari dua sumber kegelisahan dalam ekosistem seni hari ini, yakni ruang berinteraksi – virtual atau fisik – dan relasi antarpelaku, yaitu ekonomi ataukah afektif," kata Ratri melalui keterangan tertulis yang diterima Bisnis, Kamis (18/6/2020).
Ratri menjelaskan skenario pertama menggambarkan ketika pelaku seni hanya berinteraksi di ruang virtual dan digerakkan oleh motif ekonomi.
Pelaku seni hanya menyibukkan diri di depan layar, terobsesi dengan pembuatan konten sensasional setiap hari.
"Namun, jumlah penonton nol, karena semua orang menjadi seniman live streaming. Obsesi akan status melampaui urgensi untuk memonetisasi pertunjukan. Banyak kebutuhan dasar tidak terpenuhi. Mengikuti kenaikan listrik, tarif internet akan semakin mahal, begitu pula platform streaming musik dan film," tutur Ratri.
Baca Juga
Alhasil, muncullah generasi prekariat yang terjebak situasi tak menentu dan tanpa jaminan masa depan, yang masif tapi tidak terlacak. Kredit macet, pelaku seni terikat utang yang tidak akan bisa terbayar menjadi hal yang biasa.
Kedua adalah kemunculan beragam komunits yang akan menyiasati mahalnya akses internet dengan membangun jaringan internet mandiri. Melalui media sosial, komunitas memperluas jaringan, memobilisasi sumber daya, dan melibatkan diri dalam jejaring serta gerakan global.
"Bisa jadi mereka melakukan inovasi radikal agar praktik seninya lebih ramah lingkungan, serta menemukan cara supaya interaksi daring lebih bermakna," ungkap Ratri.
Perkumpulan dan serikat seni akan tumbuh subur dalam level lokal, nasional, hingga internasional. Namun, yang jadi kekhawatiran adalah hilangnya kesempatan berkumpul dalam jumlah besar di ruang fisik mengakibatkan rendahnya rasa memiliki dan keterikatan antarkomunitas di luar lingkup lokal.
"Daya tawar komunitas ke kalangan di luarnya pun lemah,” tegas Ratri.
Kemudian skenario ketiga, seni akan menjadi bagian dari keseharian. Jika interaksi hanya dimungkinkan di ruang fisik dan relasi antarpihak bersifat afektif, desa jadi unit yang paling bisa bertahan.
Karena desa mampu berinovasi memenuhi kebutuhan dasar warganya melalui sumber daya yang dimiliki secara komunal. Sistem ekonomi alternatif akan diterapkan di desa ini, seperti barter, dan seni bisa jadi salah satu alat tukarnya.
Adapun, di kota akan muncul eksperimen seni partisipatif. Pelaku seni berkumpul dalam jumlah kecil untuk mendiskusikan estetika baru dan melibatkan diri dalam proses pemulihan warga.
"Gerakan seni radikal di lingkup lokal tumbuh. Namun, dampaknya terasa hanya dalam lingkup kecil," ujar Ratri.
Terakhir, apabila seniman dan masyarakat terisolasi secara fisik dan relasinya berbasis kepentingan ekonomi, maka seni menjadi hiburan warga.
Pelaku seni jadi makin akrab dengan tetangga untuk menjual keahlian seninya. Orang menghibur diri dengan pertunjukan berbayar dari warga sekitar atau memutar koleksi bajakan yang dikumpulkan sebelum streaming populer.
Para tenaga teknis bekerja membangun panggung pertunjukan berskala kecil. Perupa mendapat pekerjaan untuk menunjang usaha kecil menengah, seperti melukis mural di warung kopi atau menghias panggung seni warga.
"Tapi karena seni berfungsi sebagai hiburan semata, mayoritas seniman menampilkan karya orang lain yang sudah terkenal, sehingga sedikit karya baru dihasilkan. Seni hidup selama bisa dinilai dengan uang, mengikuti selera populer, dan bersandar pada mekanisme pasar di tingkat lokal," tutur Ratri
Keempat skenario itu menunjukkan peran negara ternyata justru diperlukan. Karena bagaimanapun juga, inisiatif kolektif perlu dukungan negara agar bisa bertahan lebih lama.
Menurut Ratri, peran negara harus dipertimbangkan dalam mendorong potensi dan keberlangsungan simpul-simpul seni di daerah, memperkuat jejaring antarsimpul, mendorong pertukaran ide dan sumber daya alam dan budaya antarwilayah, memastikan semua bisa tumbuh bersamaan.
Ratri menilai upaya negara untuk mendorong kegiatan seni semasa pandemi patut diapresiasi, namun belum cukup.
Prasyarat dasar yang harus dipenuhi negara terlebih dahulu adalah kebutuhan dasar pelaku seni sebagai jaminan kelangsungan hidupnya, pengakuan status seniman, dan pelindungan kebebasan berkesenian.
Dukungan pemerintah untuk menjaga keberlangsungan komunitas dan meluaskan gaungnya dapat berupa pendanaan skala komunitas, pemerataan akses internet dan bekal literasi digital, serta pengembangan akses informasi lewat media publik dan jaringan komunikasi lokal.
Pemerintah juga bisa mengaktifkan kembali ruang berkesenian fisik dengan memberlakukan protokol kesehatan khusus, mendorong lebih banyak pihak mendukung seni, dan terus menggulirkan wacana tentang dampak penting seni bagi masyarakat.
Sasaran kebijakan pun perlu digeser ke dinamika pergerakan di daerah, karena kota besar perlu belajar dari berbagai eksperimen yang dilakukan simpul seni budaya di pinggir dan pelosok.
"Dengan demikian, cita-cita ekosistem seni yang sehat dapat terwujud. Pelaku seni bukan saja berdaya secara finansial. Tetapi, mereka juga bisa meningkatkan kepekaan dan daya refleksi kritis dari pengalaman hidup yang terus berubah," tutup Ratri.