Trump tenyata tidak sendiri sebagai sosok kontroversi yang sering mendapat kritikan publik.
Sejumlah pemimpin lainnya yang sangat mencintai negaranya (ultra-nasionalis) seperti era Perang Dunia II juga muncul seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Filipina Rodrigo Duterte, dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang dikenal sebagai pendukung utama keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Kalau Trump mengeksploitasi imigran untuk kepentingan politik hingga merencanakan membangun tembok pembatas AS dengan Meksiko, Erdogan menunjukkan kecintaaannya kepada negara dengan mengikis nilai-nilai demokrasi.
Seolah-olah tidak ingin tersaingi, mantan perdana menteri yang kini jadi presiden itu menyingkirkan tokoh demokrasi Fetullah Gullen yang pernah bersekutu dengannya.
Gullen yang akhirnya mengasingkan diri ke Amerika Serikat dianggap berbahaya karena bisa menyingkirkan posisi Erdogan dengan pengaruh demokrasi dan semangat anti-korupsinya.
Tidak hanya meminta agar pemerintah AS mengekstradisi Gullen pulang ke negaranya, Erdogan juga memecat ratusan pegawai negeri. Mereka yang dipecat dianggap sebagai pengikut Gullen yang dituduh menggerakkan kudeta yang gagal.
Setelah kudeta militer berhasil digagalkan, Erdogan kini ingin tampil tanpa pesaing sehingga Turki mulai mengarah pada kediktatoran seperti era Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler.
Erdogan memang orang kuat dan disebut sebagai salah satu tokoh Islam paling berpengaruh di dunia. Dia menjabat Perdana Menteri Turki sejak 2003 sampai 2014. Pimpinan Partai Keadilan dan Pembangunan itu kemudian terpilih menjadi presiden pada 2014 dan memasuki jabatan periode kedua sejak dilantik pada tahun lalu.