Bisnis.com, JAKARTA – Tadashi Yanai, pemilik raksasa ritel Jepang Uniqlo, sedang mencari sosok seorang wanita yang diidam-idamkan untuk memimpin perusahaannya.
Pendiri Fast Retailing Co. yang kini berusia 70 tahun itu sadar tak akan dapat selamanya memimpin perusahaan. Tapi ternyata ia lebih suka digantikan oleh seorang wanita. Sosok wanita, menurut Yanai, akan lebih baik untuk memimpin peritel terbesar di Asia tersebut.
“Pekerjaan itu lebih cocok untuk seorang wanita. Mereka gigih, berorientasi pada detail, dan memiliki rasa estetika,” ungkap Yanai, seperti dilansir dari Bloomberg.
Seiring dengan bertambahnya kerut pada wajah pria kelahiran 7 Februari 1949 ini, ia kerap menerima pertanyaan tentang penggantinya di perusahaan.
Berawal dari bisnis menjahit ayahnya, Yanai berhasil membangun sebuah brand global yang tak tertandingi. Yanai mulai memimpin jaringan bisnis pakaian ayahnya pada 1984.
Ia kemudian membuka gerai baru di Hiroshima bernama Unique Clothing Warehouse, yang lalu disingkat menjadi Uniqlo. Pada 1991, ia mengganti nama perusahaan ayahnya menjadi Fast Retailing.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun, Uniqlo telah berkembang dari hanya toko kecil di Hiroshima menjadi ratusan toko di seluruh Jepang. Pada tahun 1998, tercatat total 300 gerai Uniqlo telah dibuka.
Dewasa ini Fast Retailing telah memiliki lebih dari 2000 gerai dan memantapkan namanya sebagai salah satu perusahaan pakaian jadi terbesar di Jepang. Tak cuma Uniqlo, perusahaan juga mengembangkan brand lain seperti Helmut Lang, Theory, Princesse tam.tam, dan J Brand.
Menurut Bloomberg Billionaires Index, Tadashi Yanai menempati posisi 41 orang terkaya di dunia, sekaligus merupakan orang terkaya di Jepang pada tahun 2018.
Beredar spekulasi kandidat terkuat untuk menggantikannya adalah Maki Akaida, yang tahun ini ditunjuk untuk menjalankan operasi Uniqlo di Jepang, unit perusahaan yang paling menguntungkan.
Pada Juni 2019, Yanai mengangkat Akaida untuk mengambil alih operasional Uniqlo di Jepang. Akaida, yang sebelumnya berlaku sebagai Wakil Presiden Senior di Fast Retailing, praktis menggantikan peran Yanai sebagai CEO Uniqlo Jepang.
Mulai bergabung dengan perusahaan pada tahun 2001, Akaida telah mengelola toko Uniqlo di China dan Jepang. Ia juga pernah menimba pengalaman di divisi penjualan dan sumber daya manusia perusahaan.
Pengalamannya dilengkapi dengan bekerja di toko-toko di berbagai daerah mulai dari distrik Ginza hingga Prefektur Niigata. Ketika mengelola sebuah toko di Kichijoji, ia dikenal karena berhasil mengawasi salah satu outlet Uniqlo paling populer di negara itu.
Wanita berusia 40 tahun itu adalah orang kedua yang menduduki jabatan CEO Uniqlo Jepang setelah bisnis ini dipimpin lama Yanai, yang juga berlaku Presiden dan CEO Fast Retailing.
Saat itu Akaida dihadapi tantangan untuk mempertahankan perolehan laba perusahaan dari bisnis yang paling menguntungkan tersebut di tengah penurunan populasi Negeri Sakura.
Yanai telah mengatakan ingin meningkatkan rasio eksekutif senior wanita menjadi lebih dari separuh jumlah total. Fast Retailing saat ini memiliki enam wanita untuk peran tersebut. Tahun lalu, perusahaan mencapai targetnya memiliki lebih dari 30 persen wanita di posisi manajemen.
“Bisa jadi,” jawab Yanai ketika ditanya apakah Akaida akan menjadi kendidat terkuat penerusnya.
Siapapun penerus Yanai, orang itu akan mewarisi salah satu brand global asal Jepang yang paling terkenal. Fast Retailing telah berjuang melawan kelesuan domestik dengan memperluas Uniqlo di luar negeri.
Perolehan pendapatan perusahaan tumbuh secara konsisten, melampaui 2 triliun yen (US$18,9 miliar) pada tahun 2018, terutama melalui toko-toko baru di pasar luar negeri mulai dari China hingga AS.
Menurut Kathlyn Collins, Analis di Matthews Asia, investor melihat keragaman gender dalam jajaran manajemen untuk mengevaluasi kepemilikan mereka.
“Itu terutama berlaku untuk perusahaan konsumen di mana mungkin penting untuk memiliki eksekutif yang serupa dan cocok dengan profil pelanggan inti,” jelas Collins.
Jepang diketahui telah menghadapi sorotan atas kurangnya keragaman gender dalam peran manajemen. Hanya 4,1 persen perempuan di negara ini yang memegang jabatan eksekutif di perusahaan-perusahaan publik.
Angka itu jelas jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika Serikat (AS), di mana wanita memiliki rasio sekitar seperempat dalam peran eksekutif, menurut beberapa penelitian.
Perdana Menteri Shinzo Abe telah berupaya untuk mengangkat peran perempuan dalam angkatan kerja di tengah lesunya tenaga kerja yang dipicu oleh populasi Jepang yang menua dan menyusut.
Dengan angka kelahiran yang menurun, jumlah warga Jepang akan merosot hampir sepertiga pada tahun 2060, menurut Institut Riset Kependudukan dan Jaminan Sosial Nasional. Pada saat itu, sekitar 40 persen diperkirakan akan berusia 65 tahun atau lebih.
“Kami mengerjakan bisnis penjualan pakaian, tak begitu menyenangkan dengan kami yang sudah tua," ujar Yanai.
Wilayah Asia Tenggara akan menjadi bagian yang semakin penting dari bisnis Fast Retailing, Yanai menambahkan. Perusahaan mengatakan akan menginvestasikan US$1,8 juta dalam kemitraan dengan Organisasi Buruh Internasional (ILO), divisi PBB, untuk membantu mendukung pekerja pabrik di Indonesia.
ILO juga akan melakukan studi di negara-negara lain di mana Fast Retailing memiliki pabrik kontrak untuk mengeksplorasi cara-cara meningkatkan perlindungan sosial bagi para pekerja di masa depan.
Yanai mengatakan investasi semacam itu adalah cara untuk membantu mengejar tujuan-tujuan bisnis dan berkontribusi kepada dunia, karena mobilitas di negara-negara berkembang pada akhirnya kemungkinan akan meningkatkan pertumbuhan Fast Retailing.
"Jika kita berkembang di tempat di mana pendapatan tidak tumbuh, kita tidak bisa menjual pakaian," pungkas ayah dua anak ini.