Indonesia terlanjur dicap sebagai negara dengan tingkat minat baca rendah, sampai hari ini. Sejumlah data dari survei global memvalidasi soal betapa rata-rata kita yang hidup di republik ini malas membaca, terutama dari generasi muda. Benarkah demikian?
Berdasarkan survei Most Literate Nation In The World 2016, Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan hanya menang dari Botswana yang ada di peringkat 61.
Perpustakaan Nasional menyebut, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata hanya tiga sampai empat kali per minggu. Sementara itu, jumlah buku yang dibaca rata-rata hanya lima hingga sembilan buku per tahun saat survei diadakan pada 2017.
Rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3–4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30 menit–59 menit, sedangkan jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5–9 buku.
Namun, ada bukti bahwa minat terhadap buku semakin tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu bisa dilihat dari pertumbuhan industri penerbitan dan permintaan nomor Angka Standar Buku Internasional atau International Standard Book Number (ISBN) ke pemerintah.
Selama beberapa tahun lalu, permintaan terhadap penerbitan ISBN hanya berkisar di angka 30.000 – 40.000 judul buku, namun sejak 2017 – 2018 permintaan naik menjadi sekitar 70.000.
Pameran buku tahunan Big Bad Wolf (BBW) misalnya, mencatat tren kenaikan pengunjung hingga 30%. Bahkan, yang menyerbu pameran di ICE BSD Tangerang, Banten itu banyak yang berasal dari kelompok usia milenial. “Hampir 40% milenial,” ujar Presiden Direktur PT Jaya Ritel Indonesia Uli Silalahi, penyelenggara pameran BBW.
BBW tahun ini ditarget bisa menarik 1 juta pengunjung, naik dari tahun lalu yang mencapai 750.000 pengunjung dan 300.000-an pada 2017. Dari segi jumlah buku, tahun ini panitia menyiapkan 5,5 juta, naik dari 3,5 juta pada 2017 dan 2 juta pada 2016. Namun, jumlah 5,5 juta itu sama dengan tahun lalu.
Tahun lalu BBW diselenggarakan di 15 kota di 7 negara, dan meningkat jadi 30 kota di 15 negara pada tahun ini. “Indonesia paling besar, makanya dibilangnya the biggest book fair in the world, dari segi pengunjung dan luas tempat pameran.”
Namun, meriahnya pameran buku tak bisa jadi tolok ukur valid soal minat baca. Penelitian Program for International Student Assessment (PISA) pada 2015 menunjukkan Indonesia di posisi 62 dari 70 negara.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengakui bahwa angka penjualan buku atau kunjungan masyarakat ke pameran tak bisa jadi ukuran. Pasalnya minat baca belum dapat terukur secara pasti.
“Tentunya daerah-daerah yang sulit mengakses bahan bacaan karena keterbatasan logistik. Itu kalau menyangkut jangkauan buku. Tapi saya kira problem literasi juga ada di daerah perkotaan yang akses buku sebenarnya mudah.”
Menurut Hilmar, saat ini yang masih menjadi kendala utama adalah manajemen. Sekalipun sudah dicanangkan sebagai Gerakan Literasi Nasional, dukungan terhadap upaya meningkatkan minat baca belum merata dan masih bergantung pada inisiatif kepala daerah dan tokoh setempat.
Walau sejumlah penelitian mengonfirmasi soal minat baca orang Indonesia yang rendah, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Rosidayati Rozalina justru menyebutnya sebagai ‘berkah di balik musibah.’ Kenapa?
“Hasil penelitian itu ternyata menyadarkan semua pihak mengenai pentingnya meningkatkan minat baca dan pentingnya literasi. Akhirnya, kita kembali diingatkan bahwa membaca sangat penting dalam segala aspek kehidupan,” ujarnya.
Buktinya, kini banyak kegiatan untuk menyadarkan masyarakat soal pentingnya literasi, baik dilakukan pemerintah, masyarakat, penerbit, penulis, dan komunitas. Pada pameran-pameran buku terlihat tingginya antusiasme masyarakat, penjualan buku pun diklaim meningkat.
Menurut Rosidayati, dari berbagai bazar buku dapat dilihat minat masyarakat akan buku berkualitas tetapi dengan harga yang murah. Sejak ia di Ikapi pada 2004, terlihat jelas bahwa minat baca masyarakat terus meningkat.
Pemuda Dituntut Miliki dan Mendorong Minat Baca
Bagi Djadja Subagdja, Ketua Panitia Indonesia International Book Fair (IIBF), sejumlah pengukuran soal minat baca bisa jadi benar, tetapi juga bisa salah. Ia mencontohkan soal penelitian oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang menyatakan bahwa tingkat literasi rendah, dan ini yang diterjemahkan oleh orang-orang dengan minat baca.
Padahal, yang diukur oleh UNESCO itu adalah jumlah buku yang diterbitkan, jumlah eksemplarnya, dibandingkan dengan jumlah penduduk. “Dan itu mengukur hanya buku-buku yang beredar di toko buku. Sementara di negara kita buku itu tidak hanya didistribusikan melalui toko buku. Pemerintah sendiri mengadakan distribusi buku ke sekolah-sekolah, non buku pelajaran,” katanya.
Selain itu, saat ini di Indonesia tumbuh banyak taman bacaan masyarakat (TBM). Setiap buku di TBM bisa saja dibaca oleh lebih dari satu orang, sehingga pertumbuhan TBM itu sejalan dengan minat baca. Walau begitu, tetap saja pertumbuhan minat baca itu tak mudah diukur.
MINAT TINGGI
Sedikit berbeda, penulis dan pegiat literasi Heri Hendrayana Harris atau lebih dikenal sebagai Gol A Gong, menilai bahwa minat baca masyarakat sejatinya tinggi, hanya saja akses pada buku kurang. Dia mencontohkan, di Lamandau, Balai Bahasa Kalimantan Tengah menyatakan kekurangan buku.
Gol A Gong sendiri bergiat di Literasi Masyarakat bersama dengan Forum Lingkar Pena dan Forum TBM yang ikut berpartisipasi meningkatkan minat baca-tulis secara luas, tak hanya di daerahnya, tetapi di seluruh Indonesia.
“Di Banten, saya, istri dan para sahabat membangun Rumah Dunia. Gerakan Literasi Nasional kami sambut gembira. Tapi di SMKN 2 Lamandau dan umumnya di sekolah di Kalimantan Tengah, banyak sekolah tidak memiliki perpustakaan,” ujar Gol A Gong yang tengah berkeliling Kalimantan untuk mengadakan seminar dan pelatihan dalam tur Gempa Literasi.
Gempa Literasi adalah sebuah gerakan untuk menghancurkan kebodohan dan membangun peradaban baru. Kegiatan yang berjalan sejak 2010 ini berupa pertunjukan seni, orasi, pelatihan, diskusi, aneka lomba, peluncuran buku, bedah buku, pameran buku, dan hibah buku.
Gempa Literasi sudah di Jawa, Sumatra, Papua, Kalimantan, Sulawesi, Taiwan, Singapura, Malaysia, Qatar, Abu Dhabi, Dubai, Jeddah, Mekkah.
Sejalan dengan Gol A Gong, bagi penulis Ika Natassa, minat baca masyarakat tidak bisa disebut rendah. Hal itu bisa dilihat dari ramainya kegiatan pameran buku, festival literasi, toko buku, hingga pembicaraan di media sosial.
“Ada salah satu indikator lagi, meskipun itu sangat jelek indikasinya, seperti buku Indonesia itu laku banget dibajak. Artinya demand-nya tinggi, walaupun demand itu akhirnya dipenuhi oleh para pembajak yang nggak bener juga,” ujar penulis Antologi Rasa (2011) ini.
Menurut Ika, akses menjadi salah satu penghambat. Akses itu bisa berupa ketersediaan perpustakaan hingga ke daerah pelosok serta harga buku yang tidak terjangkau bagi kalangan bawah. Tingginya harga itu dipengaruhi oleh naiknya harga kertas, ongkos produksi, pajak, dan sebagainya.
Hal yang sama disuarakan Gol A Gong. “Regulasinya. Harga kertas jangan mahal, [berikan] insentif kepada penulis,” katanya.