Bisnis.com, JAKARTA — Pemilu Serentak yang akan digelar pada Rabu (17/4/2019) menghadirkan realitas berseberangan bagaikan dua sisi mata uang.
Di satu sisi, negara terbantu dengan penghematan anggaran. Tetapi di sisi lain, Pemilu Presiden (Pilpres) yang terlalu dominan membuat Pemilu Legislatif (Pileg) kehilangan atensi. Hasilnya, calon legislatif semakin pragmatis, berujung maraknya politik transaksional (money politics).
"Selama para caleg masih takut kalah. Maka mereka akan jor-joran mengeluarkan uangnya demi membeli suara untuk menang," ungkap Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin kepada Bisnis, Selasa (5//2/2019).
"Dari Pemilu ke Pemilu, politik transaksional terjadi. Mungkin 2019 makin masif. Tapi itulah dunia politik kita masih diwarnai oleh politik transaksional yang bisa merusak demokrasi, bangsa, dan negara," tambahnya.
Pria yang pernah menjadi staf khusus Ketua DPR RI ini menuturkan salah satu konsekuensi dari politik transaksional, yaitu dominasi "kalangan berduit" seperti para pengusaha menjadi pemenang kursi legislatif.
Padahal, sebelum Pemilu serentak pun, kalangan pengusaha telah mendominasi kursi DPR. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut 52,3% anggota DPR RI periode 2014-2019 yang kini menjabat, berasal dari kalangan pengusaha.
"Akan tetap didominasi pengusaha. Karena merekalah yang punya uang," jelas pria yang kini aktif mengajar di Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) ini.
"Dulu para pengusaha mendukung orang tertentu untuk menjadi caleg. Tapi akhir-akhir ini, pengusaha terjun langsung menjadi caleg.
Mereka terjun dipolitik bukan hanya karena mereka banyak uang. Tapi bisa saja ketika sudah jadi anggota DPR, mereka memperluas dan mengamankan bisnis-bisnisnya," jelasnya.
Oleh sebab itu, Ujang berharap demokrasi berjalan beriringan dengan penegakkan hukum. Siapapun yang terlibat politik transaksional mesti disikat habis.
"Hukum yang tidak mampu menindak para pelaku money politics membuat demokrasi menjadi rusak dan membuat money politics semakin marak," ungkapnya.
Batas Belanja Kampanye, Kunci Cegah Money Politics
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memaparkan kepada Bisnis, Minggu (3/2/2019) bahwa regulasi terkait batasan belanja kampanye, dirasa sanggup memininalisir adanya politik transaksional.
"Memang politik kita mahal. Karena kenapa? Kita tidak mengenal batasan belanja kampanye," jelas wanita kelahiran Palembang, 12 Oktober 1979 ini.
Titi menyebut, naiknya batas maksimal sumbangan dana kampanye sebagai pemasukan partai politik, harus diimbangi dengan regulasi batas maksimal pengeluaran belanja kampanye.
Terutama batasan belanja kampanye perorangan untuk caleg DPR dan DPRD agar pelaporan individualnya bisa dipertanggungjawabkan oleh khalayak. Terkini, pelaporan dana kampanye caleg DPR dan DPRD masih dibuat oleh parpol pengusungnya.
"Satu, kita harus memulai mempertimbangkan mengatur pembatasan transaksi tunai. Selanjutnya, kita harus memulai mempertimbangkan pengaturan pembatasan belanja kampanye, berapa jumlah uang yang bisa dikeluarkan untuk biaya kampanye," jelas Titi.
"Ketiga, kita harus mengatur pelaporan dana kampanye yang lebih terintegrasi antara caleg dengan partai. Sekarang kan banyak pengeluaran caleg yang tidak terkonsolidasi dalam pelaporan partai politik," tambahnya.
Selain perbaikan regulasi, Titi memberikan opsi adanya kebijakan internal dari masing-masing parpol untuk mengatur persyaratan menjadi caleg.
Hal tersebut diyakininya bisa membuat biaya politik lebih murah. Sebab, kader yang menjadi caleg merupakan kader pilihan yang telah berproses. Sehingga, sepak terjangnya dalam politik telah dikenal masyarakat tanpa menggantungkan diri pada politik transaksional.
"Kalau sekarang kan nggak ada pembatasan, artis baru dateng langsung jadi caleg. Misalnya, menjadi kader 3 tahun. Kan dia berproses dulu bersama partai," tutupnya.