Bisnis.com, JAKARTA - Implementasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme semakin manambah garang pemerintah.
Pasalnya, beleid yang menjadi bagian dari upaya mewujudkan trasparansi keuangan tersebut menjadi senjata baru bagi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Ditjen Bea dan Cukai serta aparat penegak hukum lainnya untuk melacak pihak yang paling bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh sebuah korporasi.
John Hutagaol, Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak, mengatakan ketentuan ini menambah jajaran produk legislasi yang mendukung implementasi keterbukaan data keuangan.
"Penerbitan ini juga menambahkan bahwa Indonesia telah memiliki regulasi terkait beneficial owner," kata John Hutagaol kepada Bisnis, Rabu (7/3/2018).
John menambahkan, terbitnya ketentuan baru tersebut juga mendukung otoritas pajak dalam mendukung second round assessment Exchange of Information on Request (EOIR) khususnya untuk melengkapi TOR A1.
Seperti diketahui, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme yang diundangkan pemerintah 5 Maret 2018.
Beleid yang menjadi bagian dari upaya mewujudkan trasparansi keuangan tersebut merupakan senjata baru bagi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Ditjen Bea dan Cukai serta aparat penegak hukum lainnya untuk melacak pihak yang paling bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh sebuah korporasi.
Secara umum, beleid ini memuat kewajiban keterbukaan bagi sebuah korporasi untuk melaporkan penerima manfaatnya. Bagian pertama aturan ini misalnya menjelaskan korporasi yang wajib menyampaikan identitas benefisial owner -nya kepada instansi yang berwenang mencakup perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer, firma, dan bentuk korporasi lainnya.
Institusi berwenang, dalam beleid itu didefinisikan sebagai instansi pemerintah baik pusat maupun daerah yang memiliki kewenangan pendaftaran, pengesahan, persetujuan, pembubaran hingga instansi yang bertugas mengawasi dan mengatur bidang korporasi.
Adapun pihak bisa diidentifikasi sebagai penerima manfaat dalam beleid tersebut adalah perseorangan yang memiliki saham atau modal sebesar 25%, hak suara sebanyak 25%, penerima keuntungan atau laba sebesar 25%, memiliki kewenangan untuk mengangkat atau memberhentikan direksi, mengendalikan kekuasaan perseroan atau sebuah korporasi, hingga menerima manfaat dari aktivitas bisnis korporasi.
Aturan ini juga memberikan kemungkinan kepada publik untuk mengakses informasi beneficial owner dari suatu perusahaan. Syaratnya, mereka harus memintanya kepada institusi yang berwenang dengan menggunakan skema undang-undang keterbukaan informasi.