Kabar24.com, JAKARTA – Dua pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan Populi Center dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) sepakat bahwa suhu politik pada 2017 akan memanas dibandingkan dengan 2016. Meski begitu, di sisi lain konsolidasi politik Presiden Joko Widodo semakin menguat dengan terpilihnya Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto sebagai Ketua DPR.
Memanasnya suhu politik pada 2017, satu faktornya adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Sebenarnya, bukan hanya DKI Jakarta saja yang menyelenggarakan pilkada.
Ada 100 daerah lainnya yang juga dalam tahapan mencari kepala daerah. Namun, hasil dari Pilkada DKI disebut-sebut mampu menentukan konstelasi politik pada 2019 atau pada pemilihan presiden dan wakil presiden.
Pengamat politik dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) mengatakan Pilkada DKI menjadi perhatian secara nasional juga karena kasus yang menjerat salah satu calonnya. Kasus ini masih akan terus bergulir hingga 2017.
Seperti diketahui petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat ini berstatus sebagai terdakwa atas perkara dugaan penistaan agama. Dalam prosesnya, perkara itu telah mencatat sejarah karena berhasil menjadi motor penggerak masyarakat Islam di Indonesia dari berbagai daerah memenuhi kawasan Monumen Nasional dan sekitarnya.
“Proses pengadilan [Ahok] ini yang akan meningkatkan eskalasi politik dalam negeri,” ujar Ali di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis (15/12).
Ahok memang telah menjadi fenomena nasional. Bahkan jauh sebelum dia tersangkut perkara dugaan penistaan agama. Perkara ini menambah popularitasnnya, tetapi dari sisi negatif.
Menurut pendiri Saiful Mujani Research Center (SMRC) Saiful Mujani, berdasarkan hasil surveinya hanya dua dari sepuluh orang Indonesia yang tidak mengetahui aksi menuntut memidanakan Ahok itu.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan, selain pilkada, politik 2017 juga akan memanas dengan pembahasan Rancangan Undang Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu).
Pembahasan RUU itu harus diselesaikan DPR pada kuartal pertama 2017. Dengan segala kepentingan politik setiap fraksi partai politik di DPR tentu hal itu tidak akan berjalan dengan mulus.
Menurutnya, Pilkada DKI akan cukup berpengaruh terhadap pembahasan RUU Pemilu. “Itu terkait dengan dukungan masing-masing partai politik pada pasangan calon [Pilkada DKI], dan itu juga memengaruhi posisi partai politik di senayan dalam menyikapi RUUpemilu,” ujarnya.
Kendati, baik Ali maupun Syamsuddin memprediksi 2017 sebagai tahun politik yang cukup berat, mereka melihat di sisi lain konsolidasi politik pemerintah menguat. Indikatornya adalah Novanto yang kembali menduduki kursi Ketua DPR.
Syamsuddin mengatakan kembalinya Novanto memang “menguntungkan” pemerintahan Jokowi. Alasannya, Jokowi memegang kelemahan Novanto yang dapat dimanfaatkan. Hal tersebut pada akhirnya akan menguntungkan bagi Jokowi karena dapat mengontrol parlemen melalui figur Ketua Umum Golkar itu.
Meskipun, terpilihnya kembali Novanto semakin menurunkan kredibilitas parlemen di mata publik. Masyarakat masih ingat perkara “Papa Minta Saham” yang sempat viral dan membuat Novanto harus mengundurkan diri sebagai Ketua DPR pada akhir 2015.
Ali menambahkan terpilihnya Novanto adalah kemenangan Jokowi dalam konfigurasi politik. Mengingat 2014 lalu saat terpilih, dia malah menjadi minoritas di pemerintahan akibat komitmen koalisi ramping.
Akan tetapi pada akhirnya dengan berbagai peristiwa selama satu tahun di 2016 ini, dia seakan sudah memiliki segalanya dalam hal dukungan politik. “Hampir semua partai berbaris di belakang dia,” kata Ali.
Saat ini hanya tersisa dua partai yang menyatakan sebagai oposisi pemerintah, yakni Gerindra dan PKS. Ali menduga sejumlah pertemuan Jokowi dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto beberapa waktu lalu, akan memperkuat posisi politik Jokowi hingga 2019.