Kabar24.com, JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam melakukan program pelatihan terpadu untuk hakim meningkatkan kapasitas terkait peradilan anak.
Menurut Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Pribudiarta Nur, di Indonesia tidak banyak hakim yang mengerti betul tentang sistem peradilan anak.
"Tidak banyak hakim yang tahu tentang sistem peradilan anak. Yang saya tahu cuma di Pengadilan Tinggi Bandung," ujar Pri saat ditemui seusai konferensi pers di Gedung Kementerian PPPA, Jakarta, Senin (2/11/2015)
Untuk itu, kata Pri, perlu ada pelatihan khusus tentang sistem peradilan anak di Indonesia. Menurutnya, peradilan anak di Indonesia belum adil karena pelaku dikenakan hukuman yang tidak setimpal dengan apa yang dirasakan korban.
"Sekarang hukumannya paling cuma 20 tahun tapi setelah 5 tahun udah dilepasin. Lalu pelaku bisa berbuat kejahatan seksual lagi," ungkapnya.
Pri mengaku, program pelatihan hakim yang baru dicanang Kementerian PPPA tahun 2014 ini belum menghasilkan perubahan terhadap sistem peradilan kasus anak.
"Karena baru satu tahun jadi belum banyak menghasilkan hakim yang mengerti betul tentang sistem peradilan anak. Paling hanya satu hakim selama ini," katanya.
Menurutnya, kejahatan seksual tidak dapat hanya dengan hukuman penjara beberapa tahun, namun juga harus ada hukuman sosial agar menimbulkan efek jera pada pelaku.
"Harus ada hukuman sosial dari masyarakat juga agar pelaku tidak melakukan kejahatan seksual kembali setelah keluar dari penjara. Karena hasrat seksual tidak akan hilang hanya karena penjara," tuturnya.
Kementerian PPPA mendorong dengan diberlakukannya hukuman tambahan berupa kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Saat ini, pemerintah khususnya Kementerian PPPA bersama Kementerian Sosial serta lembaga perlindungan anak sedang dalam tahap penggodokan Perpu agar disahkannya tambahan hukuman kebiri kepada pelaku kejahatan seksual pada anak.