Dia pun teringat bagaimana ayahnya yang hobi mengudap pisang goreng sore-sore itu sempat diisukan bakal menggantikan Soekarno sebagai RI-1. Kabar itu sangat santer berhembus di kalangan ajudan, tapi sampai saat ini tidak ada yang bisa mengonfirmasinya.
Bagaimanapun, kedekatan Bung Karno dengan jenderal yang hobi nonton film cowboy dan lebih suka menyetir mobilnya sendiri itu dibenarkan oleh pihak keluarga. Saking dekatnya, mereka banyak menghabiskan waktu bersama, bahkan untuk sekadar main golf di Bogor.
Namun, ungkap Rully, kedekatan itu terhalang oleh perbedaan prinsip kedua tokoh. Pak Yani bersimpang pendapat mengenai paham nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom) yang dianut Bung Karno.
Pada waktu itu, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) D.N. Aidit yang dikenal banyak orang sebagai musuh bebuyutan A. Yani terus gencar menghembuskan paham komunisme. Sejak itu, selalu ada friksi dalam hubungan Pak Yani dengan Bung Karno.
Dalam sepekan terakhir kehidupan Pak Yani, sambung Rully, gejolak di Ibukota makin terasa. Banyak orang dan tokoh penting yang silih berganti bertamu ke Sasmitaloka. Nama besar seperti Basuki Rachmat dan Muhammad Yusuf termasuk di antaranya.
“Sepekan [terakhir] itu bapak sibuk banget. Tujuh orang yang meninnggal [dalam tragedi G30S] itu sering datang ke rumah untuk berdiskusi dengan bapak. Sore-sore bapak selalu menerima tamu,” ungkap Rully.
Sesekali, Pak Yani sengaja mengundang para Taruna AD untuk diperkenalkan dengan para putrinya. Pada pekan terakhir hidupnya, beliau juga sempat mengajak keluarga berjalan-jalan ke Tanjung Priok dan makan es krim bersama.