Keluar dari kamar, terdapat sebuah mini bar tempat Pak Yani biasa berkumpul bersama keluarga.
Di sampingnya, berdiri sebuah pintu kayu berbingkai kaca yang dipenuhi retakan dan lima lubang peluru akibat tembakan. Rasa pilu tiba-tiba menyeruak.
Tepat di depan pintu itu, beberapa petak lantai dipatri dengan tulisan Di sinilah gugurnya Pahlawan Revolusi Djendral TNI A. Yani pada Tanggal 1 Oktober 1965 Djam 04:35. Membacanya, membuat siapapun seolah mampu merekonstruksi tragedi pada dini hari itu.
Nah, di samping tempat kejadian perkara (TKP), terdapat sebuah ruang makan keluarga. Pada siang itu, seluruh putra-putri A. Yaniminus si bungsu Irawan Suraeddy dan almarhumah Herlia Emmy Yanisengaja berkumpul untuk makan siang bersama.
Anak-anak Pak Yani; Rully, Amelia, Yuni, Juwita, Mitha, dan Untung, semuanya kompak makan siang bersama di Sasmitaloka, ditemani salah satu cucu Pak Yani, Mira, yang merupakan putri dari Yuni. Kebiasaan guyup itu terjalin sejak ayah mereka masih hidup.
Bapak itu paling hobi foto-foto. Setiap momen spesial anak-anaknya pasti diabadikan. Waktu Mbak Rully diospek di kampus [Fakultas Psikologi Universitas Indonesia], bapak juga yang motret. Dia bangga sekali karena anaknya baru masuk universitas, kenang Mitha.
Ingatan akan sosok ayah yang tegas, disiplin, protektif, sekaligus peduli masih terekam jelas di benak anak-anak Pak Yani. Putri sulungnya, Rully, pun masih ingat beberapa pekan menjelang kepergiannya, Pak Yani meningkatkan pengawasan terhadap para buah hatinya.
Pada waktu itu, suasana DKI mulai memanas ketika beberapa anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) datang meminta perlindungan di tengah ketegangan antara Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).
Pengawalan terhadap kami putra-putrinya mulai ditambah. “Diam-diam sepertinya Bapak mengirim ajudannya untuk mengawasi kami. Bapak juga sempat diminta ceramah di Fakultas Psikologi UI tentang persiapan generasi muda ke depannya,” tutur Rully.