Bisnis.com, JAKARTA — Kisruh tudingan ijazah palsu milik Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri jilid II telah mencapai babak akhir.
Perkara ini sejatinya sudah dihentikan atau SP3 oleh Dittipidum Bareskrim Polri. Hal tersebut diungkap setelah kepolisian melakukan penyelidikan hingga gelar perkara terkait kasus tudingan ijazah palsu ini.
Hasilnya, Bareskrim telah menyimpulkan bahwa ijazah pendidikan milik Jokowi adalah asli pada Kamis (22/5/2025).
Namun, kubu pelapor yakni Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) menyatakan keberatan atas keputusan penghentian perkara atau SP3 yang dilakukan Bareskrim Polri.
Oleh karena itu, TPUA mengajukan gelar perkara khusus agar kasus Jokowi ini bisa ditinjau ulang. Pengajuan itu kemudian ditindaklanjuti oleh Bareskrim pada akhir Juni.
Pada intinya, pelapor menginginkan sejumlah nama agar dilibatkan dalam gelar perkara khusus ini agar keputusan penghentian penyidikan bisa diterima TPUA.
Baca Juga
Singkatnya, gelar perkara khusus itu digelar pada Rabu (9/7/2025). Semua pihak baik itu pendumas, Bareskrim, pengawas internal hingga eksternal pun dihadirkan dalam gelar perkara khusus ini.
Hasilnya, berdasarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D) Nomor: 14657/VII/RES.7.5/2025/BARESKRIM tertanggal 25 Juli 2025 menyatakan bahwa penghentian penyidikan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Di samping itu, Bareskrim menilai bahwa fakta dihadirkan oleh pendumas atau pelapor hanya berupa data sekunder dan tidak memiliki kekuatan pembuktian, sehingga tidak bisa digunakan sebagai alat bukti.
Dalam hal ini, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Choirul Anam telah memastikan bahwa jalannya gelar perkara khusus itu sudah berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Misalnya, proses gelar perkara khusus itu menghadirkan pihak pendumas dengan pihak yang diadukan. Keduanya membawa ahli masing-masing.
Kemudian, Anam mengemukakan pada gelar perkara khusus itu juga menjelaskan soal teknis seperti tata letak huruf pada ijazah Jokowi; ejaan "Soe dan Su"; hingga pemakaian kertas dan alat percetakan ijazah.
Pada intinya, bukti-bukti yang ditampilkan telah mendukung kesimpulan yang ditarik oleh Bareskrim Polri soal ijazah Jokowi.
"Sehingga, ketika ditanya apakah gelar perkara khusus itu sesuai dengan prosedur dan substansinya kredibel, saya kira apa yang kami ikuti sampai akhir ya," tutur Anam kepada wartawan, dikutip Kamis (31/7/2025).
Pendumas Tak Terima
Wakil Ketua TPUA Rizal Fadillah menyatakan bahwa kesimpulan terkait dengan gelar perkara khusus ijazah Jokowi ini tidak sesuai dengan ketentuan KUHP dan Perkapolri.
"Bahwa penghentian penyelidikan 22 Mei 2025 yang dibenarkan dalam SP3D 25 Juli 2025 berdasarkan alasan "sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku" tidaklah benar, karena tidak sesuai dengan ketentuan KUHP maupun Perkapolri," ujar Rizal dalam keterangan tertulis, Kamis (31/7/2025).
Dia menambahkan, dalam gelar perkara khusus itu juga dinilai belum tuntas, lantaran tidak adanya peserta yang lengkap dari pelapor dan terlapor.
Di samping itu, TPUA juga protes dengan kesimpulan ini lantaran ijazah Jokowi yang asli tidak ditampilkan di gelar perkara khusus tersebut.
Adapun, Rizal menilai pihak penyidik tidak bisa membantah fakta dan data yang diajukan oleh pelapor.
"Pihak penyidik pada gelar perkara khusus hanya memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta yang diumumkan Ditipidum 22 Mei 2025 tidak mampu membantah fakta dan data yang diajukan oleh pelapor," pungkasnya.
Adapun, Ahli Digital Forensik Rismon Sianipar menyatakan tidak puas dengan hasil gelar perkara khusus ini. Sebab, bukti yang ditampilkan pihaknya ditetapkan sebagai bukti sekunder.
Dia juga mengatakan bahwa kepolisian dinilai masih belum teliti dalam melakukan pembuktian. Oleh sebab itu, Rismon menyarankan agar kepolisian bisa studi terkait perkara yang bisa diselesaikan digital forensik.
“Tanggapan saya terhadap penghentian penyelidikan di Bareskrim Polri ya sangat tidak puas. Karena dipandang bukti kami adalah bukti sekunder yang tidak bisa dijadikan sebagai pembuktian,” kata Rismon.