Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) merespons soal temuan pencatatan gap atau selisih ekspor impor produk turunan nikel antara BPS dengan GACC atau bea cukai China.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Anang Supriatna menyatakan bahwa dirinya masih belum bisa berkomentar jauh soal temuan itu.
"Sementara saya tidak bisa berkomentar karena bukan di bidang kita dulu. Itu kan masih di sana. Bukan kewenangan kami," ujar Anang di Kejagung, dikutip Kamis (31/7/2025).
Namun demikian, Anang menyatakan, penyidik korps Adhyaksa bakal melakukan pendalaman apabila temuan gap produk turunan nikel itu diadukan atau dilaporkan ke pihaknya.
Dengan demikian, juru komunikasi Kejagung RI itu memastikan apabila nantinya sudah ada laporan, maka pihaknya bakal menindaklanjuti laporan tersebut.
"Sepanjang ada laporan pengaduan pasti kami tindak lanjut, kami pelajari dan di dalami," pungkasnya.
Baca Juga
Beda Data Produk Turunan Nikel
Bisnis sebelumnya menemukan adanya selisih antara jumlah importasi feronikel dan nikel matte yang diekspor Indonesia ke China. Hal itu berdasarkan data BPS milik Indonesia dengan bea cukai China (GACC).
Khusus untuk feronikel, pada 2020-2024 atau selama 5 tahun terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah ekspor feronikel Indonesia ke China mencapai 29,08 juta ton. Data ekspor-impor BPS itu dikoleksi dari Bea Cukai.
Sementara itu, yang tercatat di otoritas kepabeanan China (GACC), hanya sebesar 27,67 juta ton. Artinya, ada gap sekitar 1,41 juta ton.
Secara nominal, gapnya mencapai US$400,5 juta selama 2020-2024. China mencatatkan nilai impor feronikel yang lebih sedikit dibandingkan dengan data ekspor yang tercatat di Indonesia.
Berbeda dengan feronikel, importasi China terhadap komoditas nikel matte justru lebih banyak, baik secara nominal maupun volume, dibandingkan yang tercatat di Indonesia.
Bisnis mencatat bahwa total akumulasi importasi nikel matte oleh China dengan kode HS 75011000 mencapai 838.349,4 ton dan US$7,36 miliar, sementara yang tercatat di data resmi pemerintah Indonesia yakni BPS, mencapai 559.977 ton dan US$6,69 miliar.
Selisih antara data Bea Cukai China dan BPS 2022-2024, mencapai 278.372,2 ton atau secara nominal sebesar US$666,9 juta atau sekitar Rp10,67 triliun (kurs 16.000 per US$) hanya dalam waktu 3 tahun terakhir.
Artinya, jika nilai Rp10,67 triliun itu dihitung sebagai penghasilan perusahaan dan dikaitkan dengan tarif pajak badan di Indonesia sebesar 20%, maka total potensi penerimaan PPh badan yang hilang dari eksportasi nikel matte sebesar Rp2 triliun.