Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Panglima TNI Sebut Ada 7 Kasus Menonjol pada September-November 2024

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengungkap 7 kasus rawan menjelang hari pencoblosan di Pilkada 2024.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto melakukan kerja rapat dengan Komisi I DPR RI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (25/11/2024)/BISNIS-Annisa Nurul Amara
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto melakukan kerja rapat dengan Komisi I DPR RI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (25/11/2024)/BISNIS-Annisa Nurul Amara

Bisnis.com, JAKARTA — Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengungkap 7 kasus rawan menjelang hari pencoblosan di Pilkada 2024. Tujuh kasus ini terjadi pada rentang September hingga November.

Pada September 2024, Agus menyebut ada tiga kejadian yang menonjol di antaranya adalah pelemparan granat oleh OTK ke rumah calon Gubernur Aceh, penembakan yang dilakukan oleh OTK terhadap rumah dan mobil calon Bupati Tolitoli, dan pergantian calon Wakil Gubernur Papua Selatan.

“Dan pada bulan Oktober terdapat dua kejadian menonjol, pemecatan calon Bupati Malang, kejadian kecelakaan kebakaran kapal motor yang mengakibatkan meninggalnya calon Gubernur Maluku Utara,” ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR RI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin (25/11/2024).

Kemudian, pada November, Agus mengemukakan ada dua kejadian menonjol yaitu KPU membatalkan paslon nomor urut 1 pilkada Papua Barat Daya dan pembacokan oleh pendukung salah satu paslon pada Pilkada Kabupaten Sampang yang mengakibatkan satu orang meninggal dunia.

Sebelumnya, Agus menyebut TNI telah memetakan provinsi-provinsi yang memiliki tingkat kerawanan dari tinggi hingga rendah jelang Pilkada 2024. Pemetaan ini didasarkan dari catatan Staf Intelijen (Sintel) TNI.

“Pada tingkat kerawanan tinggi terdapat 4 provinsi, tingkat kerawanan sedang ada 23 provinsi, dan tingkat kerawanan rendah di 10 provinsi,” ungkapnya di hadapan Komisi I DPR RI.

Lebih lanjut, dia menjelaskan kerawanan ini terbagi dalam tiga konteks utama yaitu politik, sosial budaya, dan keamanan dalam negeri. Pada konteks politik, sebutnya, persaingan antar pasangan calon berpotensi memicu konflik, terutama jika terdapat saling serang antar pendukung.

Kemudian, lanjutnya, aktivitas masa yang mendukung paslon tertentu dapat menjadi sumber ketegangan, terutama bila terjadi klaim kemenangan atau protes terhadap hasil pemilu. Ketidakpuasan para pendukung terhadap hasil Pilkada seringkali menjadi sumber protes besar-besaran.

“Pada konteks sosial budaya, faktor pemicu konfliknya adalah terbatasnya sarana angkutan dan medan yang sulit dalam mendistribusikan logistik Pilkada. Kendala ini dapat memicu ketidakpuasan masyarakat yang merasa hak suara mereka terancam,” jelas Agus.

Terakhir, dalam konteks kamdagri, Agus mengatakan ancaman dari kelompok tertentu yang berupaya mengganggu jalannya Pilkada, seperti aksi intimidasi atau sabotase sistem perwakilan dalam Pemilu, seperti sistem noken di Papua, dapat menjadi sumber ketidakpuasan masa, terutama jika mereka tidak setuju dengan pilihan yang ditentukan oleh kepala suku. 

“Faktor pemicu konfliknya adalah aksi kelompok tertentu yang bertujuan mengganggu pelaksanaan Pilkada, ketidaksetujuan masa terhadap pilihan paslon yang ditentukan oleh kepala suku memicu konflik horizontal di tingkat lokal,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper