Bisnis.com, JAKARTA – Bank investasi global yang berbasis di Amerika Serikat, JPMorgan Chase & Co, memberikan rekomendasi investasinya di kuartal kedua tahun 2020, di tengah terpaan pandemi virus Corona.
Dilansir dari Bloomberg, JPMorgan mengatakan investor harus lebih selektif pada paruh kedua tahun ini menyusul perubahan pola return aset karena likuiditas yang tersedia tidak dapat mengatasi tekanan.
“Pendekatan yang tanpa pandang bulu terhadap portofolio sebagian besar akan dirasakan efeknya pada bulan April dan Mei, ketika sebagian besar aset keuangan menguat,” menurut tim analis JPMorgan yang dipimpin oleh John Normand, Jumat (19/6/2020).
Mereka mengatakan posisi ekstrim dan dinamika likuiditas, ditambah dengan pembelian aset bank sentral, berkontribusi terhadap meningkatan korelasi laju ekonomi saat memasuki resesi dan kemudian rebound ke fase ekspansi.
"Tapi biasanya korelasi tinggi ini berarti akan kembali ke tingkat rata-rata jangka panjang dalam beberapa bulan karena laju pelonggaran kuantitatif melambat dan memungkinkan negara, sektor, dan perusahaan untuk menegaskan kembali posisi mereka," tulis tim analis, seperti dikutip Bloomberg.
“Paruh kedua tahun 2020 ini akan membawa diferensiasi semacam ini," lanjut mereka
Baca Juga
Rekomendasi JPMorgan untuk paruh kedua tahun 2020 meliputi kehati-hatian pengambilan keputusan pembelian obligasi, hanya di negara-negara dengan imbal hasil yang disesuaikan dengan inflasi positif dan kekhawatiran mengenai tingkat bayar utang
JPMorgan juga lebih merekomendasikan surat utang dengan peringkat lebih tinggi dibandingkan dengan rating standar meskipun menawarkan imbal hasil yang tinggi. Selain itu, surat utang korporasi negara maju lebih diprioritaskan dibanding surat utang yang sama di negara emerging market.
Terkait dengan investasi saham, JPMorgan merekomendasikan saham 'pemenang akhir' di tengah pandemi Covid-19 seperti sektor teknologi, komunikasi, dan perawatan kesehatan, dibandingkan saham siklis atau saham defensif
Sementara itu, JPMorgan lebih merekomendasikan mata uang G10 dengan posisi neraca transaksi berjalan yang lebih kuat seperti krona Swedia atau yen Jepang, selain mata uang emerging market seperti peso Filipina, rubel Rusia, serta rupiah.