Bisnis.com, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) melontarkan wacana agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi lembaga tertinggi negara sehingga bertugas memilih presiden.
Dengan kata lain, ormas Islam itu mengusulkan Presiden tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat.
Pengamat politik dari Universitas Padjajaran Muradi menilai wacana itu bukanlah sebuah kemajuan, melainkan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia. Menurutnya pemilihan tidak langsung bukanlah pilihan bijak.
"Saya kira wacana presiden dipilih oleh MPR itu sama saja mundur 25 tahun. Jauh mundur ke belakang," kata Muradi saat dihubungi Bisnis, Jumat (29/11/2019).
Menurut dia sampai saat ini demokrasi sudah berjalan cukup baik selama 20 tahun terakhir.
Muradi mengatakan saat ini yang dibutuhkan adalah mematangkan demokrasi di Indonesia. Caranya, kata dia, bukan dengan mengembalikan pemilihan presiden ke MPR.
Baca Juga
Dikatakan, jangan sampai hanya karena alasan mahalnya biaya penyelenggaraan dan politik, menjadi alasan utama untuk merenggut kedaulatan rakyat.
"Itu hak kedaulatan rakyat itu di tangan rakyat," katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengatakan bahwa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pasti sudah mempertimbangkan baik dan buruk. Mereka menganggap biaya sosial pemilihan langsung terlalu mahal.
“Sekarang kalau kita kalkulasi biaya untuk memililih presiden saja kita membutuhkan Rp24 triliun. Kalau dipilih MPR saya pikir tidak sampai segitu,” katanya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (28/11/2019).