Bisnis.com, JAKARTA – Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Gusti Hardiansyah mengungkapkan RUU Pertanahan yang kini tengah dibahas di DPR bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila.
Menurutnya, RUU ini kuat mengakomodasi kepentingan bisnis dan investasi perkebunan skala besar. Monopoli swasta, perampasan tanah, penggusuran, dan impunitas bagi para pengusaha perkebunan skala besar yang banyak diatur dalam RUU Pertanahan ini tercermin kuat melalui hak pengelolaan instansi pemerintah dan rencana bank tanah.
“Keberadaan kawasan hutan yang tertuang pada pasal 15, menjadi titik masuk dari proses pembenaran/pemutihan atas usaha perkebunan dan lainnya yang masuk ke dalam kawasan hutan, yang pada akhirnya berpotensi menjadi penyebab berkurangnya kawasan hutan,” ujar Gusti, Senin (5/8/2019).
Menurut Gusti, RUU Pertanahan mengandung banyak inkonsistensi dan kontradiksi antara konsideran dengan isi RUU antara niatan menjalankan reforma agraria untuk menata ulang struktur agraria menjadi berkeadilan dengan rumusan-rumusan baru terkait HGU, HGB, hak pengelolaan dan bank tanah sehingga menabrak UU Pemda, UU Perseroan, UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, UU yang mengatur kompetensi peradilan di Indonesia, UU Pesisir dan aturan yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat, serta UU terkait pidana.
Karena itu, lanjut Gusti, RUU ini menjadi penghambat iklim usaha dan investasi. Setidaknya ada empat pasal terkait kawasan hutan pada rancangan beleid tersebut, yakni pasal 23 terkait rencana tata ruang, pasal 63, pasal 64, dan pasal 66 terkait obyek pendaftaran tanah.
Pada pasal 23, disebutkan bahwa kawasan hutan termasuk bagian dari kawasan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang.
“Areal tata ruang pada pasal tersebut seharusnya hanya membahas lahan yang berada di luar kawasan hutan, karena pengelolaan kawasan hutan sudah diatur UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Jika berpatok pada UU Kehutanan, maka sebagai kesatuan ekosistem, hutan tidak hanya terkait dengan tanah tempat ruang tumbuhnya, tetapi memiliki berbagai fungsi sumber daya alam lainnya,” papar Gusti.
Dijelaskan lagi oleh Gusti, pasal 63 dan pasal 66 yang intinya menyatakan bahwa objek pendaftaran tanah meliputi semua bidang tanah dan kawasan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, apabila berpatokan pada UU Kehutanan, kawasan hutan bukan merupakan objek pendaftaran tanah.
Pasal 64 RUU tersebut juga mewajibkan seluruh pihak terkait untuk melakukan pemetaan kembali pada lahan konsesi yang sebenarnya penataan batas dan penetapan wilayah konsesi kehutanan sudah dilakukan serta diintegrasikan melalui kebijakan satu peta (one map policy).
“Pasal 64 ini berpotensi menimbulkan high cost economy dan dikhawatirkan mengurangi luasan lahan konsesi yang sudah berizin, mengingat adanya perbedaan pandangan antara Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpastian usaha bagi pelaku industri kehutanan,” ujarnya.