Kabar24.com, JAKARTA - Tarung ala gladiator di Jawa Barat sudah terjadi tiga kali, yaitu di kota Bogor yang melibatkan siswa SMA yang menewaskan Hilarius, di Sukabumi yang melibatkan siswa SMP. Dan, baru-baru ini di Kabupaten Bogor yang melibatkan SMP, dimana MRS sebagai korban.
Berdasarkan kasus-kasus tersebut, KPAI bersama KEMDIKBUD RI memutuskan untuk turun bersama melakukan pengawasan langsung dan investigasi pada selasa, 28 November 2017.
Saat menggali keterangan dari sekolah, terungkap ternyata Korban sebenarnya berinisial MRS (bukan ARS). Menurut para guru dan teman-teman nya, MRS adalah pribadi yang pendiam dan alim, tetapi sangat penolong. MRS adalah ketua kelas 9B di sekolahnya. Banyak rekan-rekannya di sekolah yang menangis ketika mengetahui kematian tragis MRS.
MRS menurut keluarganya juga anak yang baik dan pandai mengaji. Bahkan kerap memgajari mengaji anak-anak di sekitar tempat tinggal korban. Lantaran pandai mengaji tersebut, korban dinilai kawan-kawannya pandai ilmu kebal, padahal tidak. Inilah yang membuat korban terlibat atau mungkin dilibatkan dalam tarung tersebut.
Memang, di kalangan masyarakat sekitar masih banyak yang mempercayai ilmu kekebalan tubuh tersebut, karena secara geografis Rumpin berbatasan langsung dengan Banten.
Saat ini, kasus dilimpahkan dari Polsek Rumpin ke Polres Kabupaten Bogor. Menurut kepolisian, saat ini tahapan kasus sudah dinaikkan menjadi penyelidikan dan satu pelaku sudah diamankan di Polres Kabupaten Bogor untuk pemeriksaan. KPAI akan memastikan penggunaan UU SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak) terhadap pelaku dalam kasus ini.
Terkait hal itu, Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan mengatakan, KPAI menyampaikan keprihatinan dan duka mendalam terkait kasus gladiator yang kembali terjadi dan kembali memakan korban jiwa.
“KPAI mengapresiasi Polsek Rumpin dan Polres Kab. Bogor atas kesigapan dalam melakukan pemeriksaan sebanyak 12 saksi, memfasilitasi otopsi dan pemakaman korban pada sabtu, 25 November 2017 lalu,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (28/11/2017).
Retno menambahkan peristiwa tarung gladiator ini kemungkinan besar terjadi diantaranya karena lemahnya pengawasan orang dewasa, baik di sekolah, di rumah maupun di masyarakat. Sebab kejadiannya sekitar pukul 16. 30 wib dan terjadi di lapangan.
“Tempat terbuka tarung semacam ini umumnya terjadi di luar sekolah dan di luar jam sekolah, sehingga pengawasannya melibatkan orangtua dan masyarakat sekitar.”
Dia mengatakan, harusnya orang tua memiliki kepekaan karena tarung semacam ini biasanya direncanakan jauh hari, pasti ada perubahan perilaku anaknya. Masyarakat juga seharusnya peka jika melihat ditempat umum ada lebih dari 10 anak berkumpul semestinya dibubarkan atau segera lapor pihak berwenang.
“Jangan cuek therhadap fenomena seperti ini. Sekolah, dalam hal ini guru juga seharusnya memiliki kepekaan terhadap anak-anak yang berpotensi terlibat tarung semacam ini. Sebab keterlibatan siswa senior dan alumni sangat mungkin dalam skenario tarung gladiator seperti ini.”
Selain itu, sambungnya, sistem persekolahan yang mengutamakan nilai dan akademik memang akan berpengaruh pada anak-anak yang butuh eksistensi. Kecerdasan itu bukan hanya akademik, namun di negeri ini kurang diakui kecerdasan lain seperti motorik seperti olahraga dan seni.
“Adu kekebalan yang diyakini oleh anak-anak tersebut adalah merupakan salah satu indikasi bahwa pendidikan kita tidak kritis dan analitis.”