Kabar24.com, JAKARTA - Keterbatasan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selama ini membuat ketidaksinkronan antara pelaksanaan otonomi daerah dengan hasil pembangunan daerah kendati alokasi anggaran sangat besar.
Demikian dikemukakan oleh Ketua Lembaga Pengkajian MPR Rully Chairul Azwar dalam konferensi pers di Gedung MPR, Selasa (3/10/2017).
Dia menilai sejauh ini fungsi DPD di bidang pengawasan masih belum maksimal akibat keterbatasan kewenangan. Padahal, ujarnya, keberadaan DPD selain bertujuan untuk mengoptimalkan pembangunan daerah, juga untuk menurunkan ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah selain menurunkan angka kemiskinan.
“Kami melihat kepentingan daerah belum diperjuangkan oleh DPD dan lembaga negara itu harus lebih mengintensifkan pengawasan,” ujarnya didampingi para anggota Lembaga Kajian termasuk Jafar Hafsah dan Ahmad Farhan Hamid.
Lembaga Pengkajian MPR menyoal ketidaksinkronan antara pelaksanaan otonomi daerah dengan hasil pembangunan daerah kendati alokasi anggaran sangat besar. Indikasinya, kantong-kantong kemiskinan masih menyebar di daerah-daerah timur Indonesia kendati ada peran DPD.
“Lembaga Pengkajian MPR butuh masukan-masukan terkait pemantapan pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka mewujudkan kewajiban konstitusional DPD RI,” ujar Rully. Untuk itulah dia mengatakan akan menggelar simposium nasional Rabu (4/10/2017).
Baca Juga
Menurutnya, ketidaksinkronan tampak dari besaran alokasi Anggaran Penerimaan & Belanja Negara (APBN) dengan capaian kesejahteraan masyarakat. Tercatat APBN-P 2015, misalnya, jumlah dana transfer daerah mencapai Rp 664,6 triliun dan meningkat setahun kemudian menjadi Rp776,3 triliun atau pertama kali dana transfer daerah lebih besar ketimbang belanja kementerian/ lembaga senilai Rp767,8 triliun.
“Gelontoran dana itu berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat kebanyakan wilayah timur Indonesia,” ujarnya.