Kabar24.com, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir kewenangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam membatalkan Peraturan Daerah (Perda) bermasalah merupakan kabar buruk bagi perbaikan tata kelola regulasi di daerah.
Robert Endy Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menganggap, putusan tersebut justru kontraproduktif dengan langkah pemerintah yang sedang getol melakukan deregulasi sejumlah perda bermasalah.
Implikasinya, pemerintah daerah akan semakin sulit dikontrol, bahkan ke depannya bakal muncul banyak regulasi baru yang bertabrakan dengan keinginan pemerintah pusat menciptakan iklim investasi yang sehat.
“Akan semakin banyak peraturan yang muncul, bahkan bisa jadi akan membuat pungutan kepada pelaku usaha di daerah,” ungkapnya, Rabu (5/4/2017).
Menurutnya, MK dalam putusan tersebut hanya memikirkan aspek legalnya saja, tanpa melihat aspek efektifitas dan dinamika di daerah. Padahal selama ini banyak regulasi yang dibuat pemda cenderung bermasalah dan menyulitkan pelaku usaha.
Robert mencontohkan, selama jalannya otonomi daerah kurang lebih 17 tahun, pemerintah pusat telah membatalkan sekitar 4.000-an peraturan daerah bermasalah.
Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan capaian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung yang selama berlangsungnya otonomi daerah hanya membatalkan kurang dari 100 perda.
Selain itu berdasarkan kajian mereka baru-baru ini, dari 1.082 perda yang dikaji, lebih dari 50% - nya bermasalah.
"Kalau lewat MA akan lama, karena mereka cenderung pasif," katanya.
Kendati menyayangkan putusan tersebut, namun dia menghormati putusan dari MK.
Dia pun meminta pemerintah melakukan tindakan preventif misalnya dengan melakukan review terhadap sejumlah peraturan daerah (perda) yang sedang diajukan oleh pemerintah daerah.
“Itu salah satu pencegahannya, supaya meminimalisir produksi perda-perda bermasalah,” ujarnya.
Sesuai UU
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun memaparkan, putusan tersebut secara konstitusionalitas memang sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
“Memang kalau melihat konstitusi kita, untuk membatalkan perda memang kewenangan MA,” ujarnya.
Kendati demikian, pemerintah sebenarnya masih bisa memiliki celah untuk menertibkan perda-perda bermasalah tersebut. Salah satunya memperjelas kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Langkah itu mesti dilakukan, pasalnya mereka menganggap pemerintah pusat sendiri terkadang membiarkan ruang abu-abu yang kemudian dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan yang bertentangan dengan program pemerintah.
“Nah memperkecil ruang abu-abu misalnya dengan memperjelas pembagian tugas dan wewenang bisa meminimalisir ruang pelanggaran,” tukasnya.