Kabar24.com, JAKARTA- KPKbersikukuh kerja sama saling menguntungkan (sponsorship) antara perusahaan farmasi dengan institusi atau organisasi profesi kedokteran tidak melanggar hukum.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyatakan, suatu pemberian dapat dikategorikan sebagai gratifikasi jika penerima sponsor merupakan individu pribadi bukan institusi.
Dia mencontohkan, seorang dokter menerima seponsor dari produsen obat farmasi, kemudian dalam pemberian tersebut disertai embel-embel untuk meresepkan obat tertentu.
"Itu yang dilarang. Kalau institusi bukan gratifikasi namanya apalagi suap," ujar Pahala kepada Bisnis, Rabu (10/2/2016).
Pengalihan pemberian sponsor melalui institusi dan organisasi profesi kedokteran itu untuk mengontrol praktik kongkalikong yang marak terjadi antara dokter dengan produsen obat. Pemberian sponsorship ke individu cenderung tak bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan ke institusi menurutnya lebih akuntable.
Pahala menyatakan, jika dokter menerima barang dari farmasi (terkait profesi), dia harus melaporkannya ke KPK. Setelah dilaporkan, lembaga antirasuah tersebut akan menilai barang yang menjadi objek gratifikasi itu milik negara atau dokter. Kalau ditetapkan milik negara. Dokter harus menyerahkan ke kas negara.
"Kalau tidak ya bisa dikenakan pidana terkait gratifikasi," kata dia.
Namun, saat disinggung mengenai dasar masih diperbolehkannya dokter menerima sponsorship Pahala tak merespons pertanyaan tersebut. Dia juga tak menjelaskan secara rinci mengenai kesan seolah KPK memperlakukan secara khusus dunia kedokteran.
Dalam pasal 3 Kode Etik Kedokteran Indonesia, seorang dokter tidak boleh dipengrauhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Penjelasan pasal tersebut bahkan menyebutkan secara lebih rinci terkait beberapa hal yang dilarang diterima oleh dokter. Dokter dilarang membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi atau obat, perusahaan alat kesehatan atau badan lain yang mempengaruhi pekerjaan dokter.
Kode etik tersebut juga melarang dokter melibatkan diri secara langsung maupun tidak langsung untuk mempromosikan obat, alat, atau bahan lain guna kepentingan dan keuntungan pribadi dokter.
Pemberian sponsorship itu juga tidak sesuai dengan Pasal 12B Ayat I Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang No 20 Tahun 2001. Dalam pasal tersebut, semua bentuk pemberian berupa barang, uang, komisi, diskon, hingga fasilitas-fasilitas masuk kategori gratifikasi.
Meski sudah jelas disebutkan dalam sejumlah aturan di atas, Pahala tetap bersikukuh, sponsorship melalui institusi dan organisasi profesi kedokteran masih diperlukan. Karena hingga saat ini negara beluk menyediakan dana untuk dokter mengikuti simposium.
"Nanti kalau negara sudah bisa sediakan dana atau dokter punya gaji gede bisa bayar simposium sendiri supaya dapat kredit, sponshorsip pasti hilang sendiri," imbuhnya.