Bisnis.com, JAKARTA - Hasil Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar 2015 diperkirakan akan menjadi faktor penentu apakah perseteruan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Kolisi Merah Putih (KMP) akan berlanjut atau tidak.
Demikian dikemukakan oleh pengamat politik Burhanuddin Muhtadi dalam diskusi publik bertema “Urgensi Perubahan UU MD3” di ruang Fraksi Partai Kebangkkitan Bangsa. Turut menjadi nara sumber selalin Burhanuddin pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun dan Anggota DPR dari Fraksi PKB, Abdul Malik Haramain.
Menurutnya, perseteruan di tubuh DPR seperti yang terjadi antara KIH dan KMP pernah terjadi pada 2004 ketika DPR terbelah dan mengalami disfungsi hingga tiga bulan. Ketika itu, Koalisi Kerakyatan (Demokrat, PKS dan PAN) yang mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla membentuk Komisi Tandingan. Pasalnya, Koalisi Kebangsaan yang dimotori oleh Golkar dan PDIP memonopoli seluruh pimpinan alat kelengkapan Dewan.
Namun demikian, setelah Munas Golkar di Bali, persoalan di DPR selesai karena Jusuf Kalla yang terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar dan mampu mengendalikan kekuatan di DPR. Maklum, Jusuf Kalla merupakan wakil presiden yang kemudian terpilih sebagai ketua Umum Partai Golkar.
“Polanya sama, hanya aktornya yang bertukar tempat. SBY-JK hanya didukung oleh kekuatan minimalis di DPR, bahkan lebih sedikit dibandingkan dengan KIH yang sekarang menjadi penopang Jokowi-JK,” ujarnya.
Namun demikian, Burhanuddin tidak mau berspekulasi soal siapa yang paling berpeluang merebut posisi ketua umum partai berlambang pohon beringin tersebut.
Burhanuddin menyimpulkan bahwa dominasi partai berpengaruh terhadap stabilitas pemerintahan dan lembaga legislatif. Artinya semakin besar dominasi partai pendukung eksekutif di lembaga legislatif maka pengaruhnya juga positif terhadap stabilitas pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi, ujarnya.