Bisnis.com, JAKARTA -- Langkah diplomatik Korea Utara-AS yang memusingkan tahun ini membuat Presiden Amerika Serikat Donald Trump bertanya-tanya apakah dia akan memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian.
Saat ini, ancaman Korut membatalkan pertemuan puncak 12 Juni 2018 antara Trump dengan Kim Jong Un, memunculkan harapan tinggi untuk menggiring capaian pertemuan agar membumi. Seperti pendahulu Trump, Gedung Putih menghadapi kenyataan jebakan negosiasi dengan rezim yang terisolasi dan sukar ditebak di Pyongyang itu.
Menjelang pertemuan tingkat tinggi (KTT) bulan depan di Singapura, skeptisisme telah menggantikan keyakinan bahwa Korut siap meluruhkan dekade penuh kekeraskepalaan dan mengalah soal senjata nuklirnya demi kebaikan.
"Prospek cerah itu sangat tidak mungkin membuahkan hasil," kata Melissa Hanham, peneliti senior di Middlebury Institute of International Studies di Monterey, California, seperti dikutip dari Bloomberg.
Hanham sendiri melihat KTT AS-Korut tidak pernah melewati negosiasi sukses yang berakhir dengan pencegahan senjata nuklir.
Hingga pekan ini, beberapa pejabat pemerintah menyatakan kesuksesan mereka menawarkan sanksi PBB dan isolasi diplomatik untuk membuat Korut berkomitmen 'menyelesaikan denuklirisasi lengkap' tanpa mengakui definisi Pyongyang tentang istilah itu bisa saja berbeda dari Washington.
Untuk meningkatkan optimisme mereka, para pejabat Amerika menyebut langkah Korut dibuat tanpa banyak dorongan: janji untuk membekukan uji coba nuklir dan rudal, pengumuman rencana untuk menghancurkan tempat uji coba nuklir, dan keputusan untuk membebaskan tiga tahanan Amerika ketika Menteri Luar Negeri Mike Pompeo berkunjung. Pompeo memuji manfaat ekonomi yang mungkin diterima Korut dari AS setelah menyerahkan senjata-senjatanya.
"Saya pikir dia menghargai kenyataan bahwa ini akan berbeda, besar, spesial, dan sesuatu yang belum pernah ditempuh sebelumnya. Mata kami terbuka lebar terhadap segala risiko. Tetapi kami berharap Pemimpin Kim ingin membuat perubahan strategis," katanya tentang Kim ketika dia berbicara kepada Fox New Sunday.
Namun, harapan AS mulai meredup setelah Korut mengeluarkan pernyataan pekan ini menarik diri dari rencana pertemuan para pemimpin Korea Selatan dan mengancam akan membatalkan pertemuan dengan Trump.
Para pejabat Korut juga mencerca Penasihat Keamanan Nasional John Bolton, yang di televisi mengagung-agungkan 'model Libya' sebagai pengawasan senjata yang mendikte diktator Moammar Qaddafi menyerahkan program nuklirnya sebagai ganti dari pelonggaran sanksi ekonomi.
Dua tahun kemudian, Qaddafi digulingkan oleh pemberontak yang memburu dan membunuhnya di jalanan, memberikan definisi alternatif 'model Libya' yang tak ada kaitannya dengan Kim.
Dalam upaya mempertahankan rencana KTT tetap berada di jalur, Trump mengklarifikasi pernyataan Bolton, menjelaskan pemerintahannya sama sekali tidak menggunakan Libya sebagai contoh bagi Korut.
Trump berkata tentang Kim, “Dia akan berada di sana, berada di negaranya, dia akan memimpin negaranya. Negaranya akan sangat kaya."
KTT AS-KORUT: Ancaman Penolakan Korut Lemahkan Optimisme AS
Menjelang pertemuan tingkat tinggi (KTT) bulan depan di Singapura, skeptisisme telah menggantikan keyakinan bahwa Korut siap meluruhkan dekade penuh kekeraskepalaan dan mengalah soal senjata nuklirnya demi kebaikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
1 jam yang lalu
Babak Baru Kasus Judi Online Komdigi, Budi Arie Bakal Terjerat?
1 jam yang lalu